Dalam perjalanan menuju ke Tasikmalaya, dalam bus DOI aku duduk meloncat-loncat dari kursi satu ke kursi lainnya. Setiap Si Kakek pindah aku mengikutinya dengan perasaan cemas. Gimana tidak, orang Si Kakek sudah sepuh, jalannya saja dibantu pakai tongkat, dan dia melakukan perjalanan naik bus sendirian!
Mobil bus DOI yang aku tumpangi jalannya cukup kencang. Setiap melewati jalan berlubang selalu membuat guncangan dan posisi duduk para penumpang seperti melompat-lompat, seolah kursi ada pernya. Bagi orang dewasa yang masih kekar kuat itu tak masalah. Tapi bagi Si Kakek yang duduk di sampingku saat aku naiki bus dari Terminal Pasir Hayam Cianjur itu seolah gempa berkekuatan dahsyat tengah menguncangnya.
Si Kakek yang memakai sarung, lengkap dengan sorban serta peci dan baju koko dalam balutan jasnya juga menggendong tas ransel. Tongkat kayu yang sudah amat licin di bagian kepalanya tak lepas dari tangan. Sebelah tangannya lagi mencengkeram kuat-kuat pada jok kursi bus seakan badannya kurus kecil itu tak mau terlemparkan saat bus mendadak seperti oleng karena melewati tikungan tajam.
Kalau saja si kakek tidak “berjalan-jalan” dalam bus yang tengah berlari kencang, aku mungkin tidak akan khawatir. Tapi ini si kakek dengan tubuhnya yang seakan limbung itu terus saja berpindah-pindah menuju kursi lain saat ada kursi kosong di depannya manakala ditinggal turun oleh penumpang.
Si Kakek dengan tongkatnyaKarena khawatir dia jatuh, aku mengikutinya dari belakang. Mengamati dan memperhatikannya takut dia terseret dan jatuh. Penumpang semakin banyak saat melewati perbatasan Cianjur – Bandung. Si kakek seakan terjepit diantara para penumpang lain.
“Pak, tolong lihat kakek itu, dia mau turun dimana ya?” Tanyaku pada kondektur saat lewat mengambil ongkos dari penumpang baru.
“Oh, itu si aki mau turun di Rajamandala. Katanya sih hafal mau turun dimana.”
Mendengar jawaban kondektur aku agak tenang. Rajamandala sebentar lagi. Maksud si kakek pindah duduk semakin ke depan setiap ada kursi kosong itu mungkin untuk mempermudah dia turun nanti dan supaya jelas lihat ke depan.
Rajamandala lewat, tapi si kakek belum juga turun. Wah, apa kakek itu sudah lupa dia mau turun dimana? Tapi pandangan matanya yang sudah cekung itu tetap awas tajam ke depan.
“Kakek mau turun dimana? Rajamandala sudah lewat.” Tanya sopir seraya menengadah, menatap si kakek lewat pantulan spion di atasnya.
“Bentar lagi, di depan…” Suaranya yang kecil hampir tak terdengar. Pandangan matanya tetap lurus ke jalan. Pelafalan katanya hampir gak dimengerti saat bicara. Si kakek yang sudah ompong seperti mengerang saat ngomong. Mendengar suaranya jadi teringat gaya bicara tokoh Usman 77 yang diperankan oleh pelawak Sule di televisi.
Sendal si kakek yang longgar“Sudah tua kok dibiarkan jalan sendiri, anaknya kok tega ya…” Penumpang lain mulai saling berkomentar mengkhawatirkan si kakek. Tapi yang dibicarakan anteng aja menatap ke depan. Mungkin mengamati tempat dimana dia akan turun.
Saat ada penumpang turun di sekitar balai desa dekat Situ Ciburuy, si kakek berdiri dan beringsut ke depan. Seorang bapak yang ada di sisinya sigap memapahnya takut si kakek jatuh.
“Kakek mau turun di sini?”
Si kakek menatap bangunan di sisi jalan. Hening. Sopir dan para penumpang terdiam sesaat menunggu jawaban.
“Bukan, sebentar lagi…” Ucapnya tegas meski tak jelas.
Huuuhhhffhh! Penumpang yang ada di depan dan sopir bersamaan menarik nafas.
“Sudah tua, tapi daya ingatnya tetep kuat ya kakek ini.” Ucap seorang ibu-ibu di sisinya. Mungkin istri dari si bapak yang memapah si kakek itu.
“Duduk dulu saja, Kek. Takut jatuh kalau berdiri,” ucap si bapak yang memapahnya.
“Sebentar lagi turun, ah! Kalau duduk nanti bisa kelewat,” kata si kakek keukeuh.
Penumpang lain mesem-mesem menahan tawa melihat dan mendengar ucapan si kakek.
“Nah, itu turun di bawah pohon itu!”
“Di sini, Kek?” Sopir membelokkan stir mendekati sebuah pohon mahoni yang sangat besar di pinggir jalan. Mahoni tua, diameter lingkarannya mungkin sebesar lingkaran pelukan tangan tiga kali orang dewasa.
Kakek, hati-hati ya…Tanpa bicara, dengan tongkat di tangan si kakek turun dan berjalan dengan terbungkuk-bungkuk. Para penumpang termasuk sopir yang menjalankan bus kembali menarik nafas seolah telah melewati masa tersulit selama hidup setelah si kakek turun.
Aku mengamati pohon mahoni hingga menghilang tak terlihat saat bus berbelok. Apakah jika pohon mahoni itu ditebang si kakek tadi masih bisa menandai dimana dia akan turun dari bus?
Jadi si kakek tidak nyasar ya.. semoga
iya, Mba… semoga jadi pelajarn buat kita terhadap orangtua kita nanti… 🙂
Ceuu.. aki-aki dr daerah itu emang kebanyakan py daya ingat yg kuat lho… mereka sudah terlatih hidup keras.. salut pokonya.. semoga kelak tua, kita masih bisa memiliki mental kaya si aki itu ya..