Menampar Anak dengan Tontonan Memelas Dada
Disclaimer: kata menampar ini hanya kiasan ya…
Minggu pagi kami sudah keluar hotel dan menikmati suasana Jalan Dewi Sartika yang lengang. Jauh beda dengan suasana sore dan malam hari sebelum nya dimana setiap sisi jalan penuh sesak oleh lalu lalang orang dan para pedagang. Belum jejeran sepeda motor yang parkir sepanjang jalan hingga ujung ke ujung.
“Mau sarapan apa, Mi?” tanya ayahnya.
Fahmi menggeleng. Masih terlalu pagi, mungkin. Apalagi di hotel tadi sudah minum dulu teh manis.
Sejam, dua jam, ayahnya nanya lagi mau makan apa? Jawabnya masih gak jelas. Biasanya sih kalau begitu itu tandanya ada yang diinginkan tapi belum kesampaian. Jadilah gitu, agak-agak cemberut dan mogok makan.
Karena harus segera ke acara, ayahnya memilih segera sarapan. Yang mudah saja katanya mau cari bubur. Fahmi tetap ga mau. Ditawarkan ketupat sayur, juga menggeleng. Hem, mungkin mau nasi kuning, ya? Lagi-lagi menolak.
Ayahnya malah jadi gak sarapan. Gara-gara nurutin Fahmi yang gak mau ini gak mau itu. Akhirnya kami berpisah karena ayahnya harus masuk sekitar jam 9 di sebuah acara di instansinya yang sedang mengadakan acara. Sementara saya dan Fahmi, memilih menunggunya sembari bermain dan belajar di taman Alun-alun Bandung.
Suasana jam 9 kurang itu masih sepi di sekitar teras Mesjid Raya Bandung yang makin terkenal setelah lapangannya direnovasi oleh pemerintahan dibawah pimpinan Ridwan Kamil. Kami memilih duduk lesehan di teras dekat pintu masuk masjid utama.
Ketika berjalan menuju teras itu, saya dan Fahmi melihat seorang ibu berbaju ungu sedang mengaduk-aduk tempat sampah dekat penitipan sandal. Saya tidak begitu memperhatikan. Karena memang banyak orang yang mencari botol atau kardus untuk dikumpulkan dan kemudian dijual lagi di sekitar pelataran masjid itu.
Saya dan Fahmi duduk. Lalu seperti biasa Fahmi mengerjakan latihan menulis dan membaca. Selagi menunggui Fahmi itu, suasana sepi membuat saya jadi mendengar dan melihat langsung gerak gerik si ibu yang berbaju ungu di dekat tempat sampah itu.
Selain ada botol bekas minuman yang dimasukkan ke dalam kresek besarnya, si ibu juga mengambil satu bungkus kresek hitam yang setelah ia buka, lalu ia pisahkan. Sepertinya “barang berharga” dugaan saya.
Tanpa berniat mau nguping tapi obrolan si ibu berbaju ungu dengan salah seorang yang tengah duduk di tembok taman jelas bisa saya dengar.
“Ayo sini. Ini ada makanan. Lumayan lah buat sarapan.” Kata si ibu baju ungu dalam bahasa Sunda.
“Buat kamu saja.” Balas temannya.
Ya Allah, ternyata kresek hitam yang diambilnya dari tempat sampah itu (mungkin sisa) makanan dan si ibu berbaju ungu itu memungutnya. Saya makin penasaran, jadinya sembari menemani Fahmi latihan menulis saya diam-diam fokus memperhatikan si ibu berbaju ungu itu.
Setelah tidak ada lagi botol dan barang lain yang bisa dijual ke pengepul, si ibu berbaju ungu meninggalkan tempat sampah dan ikut duduk sama temannya di tembok pagar tanaman halaman Mesjid.
Lalu ia membuka kresek hitam yang diambilnya dari tempat sampah tadi di depan temannya.
“Tuh, lihat lumayan kan buat sarapan…”
Tanpa menunggu respon temannya, ibu berbaju ungu pindah dari tempat duduknya ke teras mesjid. Berjarak sekitar 10 meteran dari tempat saya dan Fahmi. Lalu ia membuka bungkusan itu dan memakan isinya dengan lahap.
“Tuh, lumayan ada daging ayamnya lho!” katanya masih dengan bahasa Sunda kepada temannya sambil mengacungkan daging yang dipegangnya.
“Iya, sok saja habiskan” kata temannya pelan sembari menengok ke arah lain.
Menyaksikan semua itu saya hanya bisa diam. Dengan suara pelan saya bilang ke Fahmi kalau si ibu berbaju ungu itu kasihan, dia sarapan dengan makanan yang dipungutnya dari tempat sampah. Anak saya sampai melongo dan seperti bergidik.
“Mereka yang tidak punya uang, tidak punya makanan, akan mencari apapun yang bisa dimakan. Termasuk sisa makanan atau makanan yang sudah dibuang oleh orang lain,” jelas saya.
Fahmi hanya melongo…
Teringat sebelumnya Fahmi susah diajak sarapan sampai ayahnya batal sarapan sebelum berangkat ke acara, saya merasa punya kesempatan untuk menjelaskan lebih banyak kepada anak. Bahwa kita masih sangat beruntung mau sarapan apa saja tinggal beli dan mudah mendapatkannya.
Coba bandingkan dengan mereka, khususnya si ibu berbaju ungu itu, dia sangat bahagia bisa sarapan pagi meski dengan nasi dan lauk pauk yang ia temukan dari tempat sampah. Ya, tempat sampah!
Bagaimana kalau si ibu berbaju ungu itu tidak menemukan nasi di tempat sampah? Mau makan apa dia? Belum tentu bisa dapat makan segera.
Sementara kita masih saja rewel dan kadang pilih-pilih makanan. Bagaimana kalau nasib kita suatu hari seperti mereka, susah mencari makan? Apa masih mau rewel dan pilih-pilih makanan?
Fahmi hanya terdiam. Untuk anak usia 5 tahun mungkin memang belum mengerti benar. Apa yang saya lihat dan saksikan memang bukan hanya sindiran untuk Fahmi secara kebetulan ia suka susah kalau disuruh makan. Tapi juga sekaligus sebuah tamparan kepada saya pribadi. Bahwa di sekitar kita ini masih banyak orang yang kelaparan, sementara kita makan terjamin 3 kali sehari bahkan lebih pun masih saja suka rewel dan tak bersyukur.
Tontonan saya pagi itu di teras Masjid Raya Bandung tidak hanya sebuah tamparan, tetapi sekaligus teguran. Yuk, Nak mulai sekarang kita perbanyak syukur dan menerima dengan lapang dada atas rezeki kita saat ini. Dan jangan lupa kita juga harus berbagi. Besar atau kecil yang penting ikhlas dan bermanfaat.
Setelah membaca tulisan ini, mengingatkan saya untuk selalu bersyukur, terimakasih, inspiratif sekali…