Menata Mental Sang Pengangguran

Sepuluh bulan sudah saya jadi pengangguran. Setelah kena PHK saya coba menikmati masa berduka ini dengan penuh kebahagiaan. Karena tidak bisa dibohongi meski badan sehat tanpa cacat, tapi jujurly metal ini remuk kering dan kesat.

Bagaimana tidak, selama ini saya terbiasa dengan ritme kerja yang serius tapi santai. Tiba-tiba terhempas tanpa matras atau pun jaring sebagai pengaman. Belum lagi ucapan yang mampir di pendengaran meski berhasil diabaikan tapi tajamnya tetap terasa perih mendalam.

Bagaimana pun luka dalam alias gangguan mental tidak bisa diumbar namun dampaknya sangat serius. Hal yang berkaitan dengan batin dan watak memang menjadi barometer orang dalam mengukur ketentraman. Sing waras hingga dapat menjalankan aktivitas dan menikmati kehidupan sehari-hari.

Apakah mental saya jatuh? Tentu saja. Kehilangan pekerjaan bagi seorang tulang punggung keluarga ibarat terlepas setengah nyawa.

Biasa bekerja, biasa mendapatkan upah dari setiap pekerjaan, menyebabkan stres dan tekanan tinggi saat tiba-tiba semuanya harus  diputuskan. Saya tidak memiliki riwayat keluarga yang mengalami kondisi gangguan mental tapi bisa jadi sayalah anggota keluarga pertama yang mengalami gangguan mental itu jika saya tetap abai dan menyepelekan. Duh jangan sampai!

Menghindari itu saya mencoba melatih mental dan terus menguatkannya. Beberapa langkah saya lakukan. Berharap kehidupan saya tetap berjalan sebaik mungkin meskipun pemasukan tak sebesar sebelumnya. Sikap dan langkah yang saya lakukan:

Berpikir Positif

Sejak kecil saya diajarkan untuk bisa menerima takdir. Bisa saja saya menginginkan sesuatu merasa itu yang terbaik buat saya. Padahal bisa jadi Tuhan Yang Maha Tahu justru lebih mengetahui jika hal itu sesungguhnya tidak baik  untuk saya. Termasuk kehilangan pekerjaan. Meski merasa sedih, tapi ya sewajarnya. Jangankan pekerjaan, nyawa saja, jika sudah saatnya diambil, kita bisa apa?

Tidak Terlalu Memikirkan Perkataan Orang

Namanya juga manusia, pasti selalu ada saja komentar terhadap apa pun. Termasuk kondisi saya. Tapi buat saya mengapa harus memikirkan omongan orang? Sementara saya makan dan segala kebutuhan tidak bergantung kepada mereka. Mau saya susah, mau saya senang, mereka bisanya ya cuma ngomong. Lebih baik tidak saya hiraukan dan fokus ke mencari kegiatan yang bisa menghasilkan uang.

Asah Kemampuan Diri

Biasanya memiliki kegiatan tiba-tiba luntang lantung. Beberapa saat merasa senang, tapi selanjutnya, mumet kepikiran bagaimana bisa mendapatkan uang kalau cuma diam saja? Jadi lebih baik pergunakan waktu luang yang ada untuk upgrade diri. Jaman sekarang serba digital, termasuk belajar dan mempertajam skill. Apapun bukankah bisa kita pelajari melalui internet?

Menjaga Kesehatan

Meski sedih, kecewa dan nafsu makan menghilang, tapi saya pastikan hal itu tidak terjadi berlarut-larut. Segera saya tepuk pipi. Hei, saya tidak sedang bermimpi. Jadi lakukan yang semestinya saya lakukan. Makan, olahraga, berpikir positif dan menyayangi diri sendiri dengan menjaga pola hidup sebaik mungkin.

Tetap Menulis dan Melakukan Hobi Lain

Pekerjaan saya awalnya dulu didapat bermodalkan hobi menulis. Mulai dari editor freelance di sebuah surat kabar buruh migran yang berada di negara tempat saya bekerja. Lalu iseng membuat karya fiksi, berharap bisa menulis buku meksipun menjadi penulis buku itu sebuah hal yang mustahil bagi saya. Ketika pekerjaan itu tidak lagi saya lakukan, bukan berarti kegiatan menulis ikut mandeg. Justru jaman serba digital seperti sekarang, kesempatan menulis jika dimaksimalkan bisa menghasilkan cuan. Tidak menutup kemungkinan kalau diseriusi, hobi menulis justru bisa jadi sebuah profesi.

Mengevaluasi Diri

Saya tidak ingin memunculkan sifat egois begitu dominan, sebagaimana dulu ketika masih muda. Saat ini, menjelang usia senja, prioritas saya bukan lagi itu. Melainkan memperbaiki semuanya. Berharap sisa waktu yang saya miliki bisa lebih banyak dihabiskan di jalan yang bermanfaat, berkah dan diridhoi Nya.

Kehilangan pekerjaan bukan berarti dunia saya berkahir. Saya tetap bisa menjalani quality time bersama keluarga dan orang terdekat, bisa terus memperbaiki diri, berani berkata tidak, menjalankan pola hidup sehat, belajar mengendalikan emosi dan refleksi diri.

Saya belum sampai di titik orang-orang yang memiliki mental yang kuat. Tapi saya harus belajar beradaptasi menjadi salah satunya.

Tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena menuju proses itu, saya masih terus harus belajar memupuk rasa percaya diri dan keberanian. Semoga dengan saya lebih memilih untuk bergaul dengan orang-orang yang berpikiran positif, berusaha keras menjalankan pola hidup sehat, mengikuti kegiatan aktivitas sosial, selalu mensugesti untuk mengatakan hal-hal yang baik pada diri sendiri, percaya diri, dan beberapa kesibukan lainnya membuat hati dan jiwa saya semakin merasa senang dan nyaman.

Maju atau mundur orang lain hanya bisa berkomentar. Yang melakukan siapa, yang merasakan siapa. Jadi apapun yang saya lakoni, kalau di jalan benar, meski babak belur tetap jadi pemenang.

10 thoughts on “Menata Mental Sang Pengangguran”

  1. Sama Teh .. saya juga sampai sekarang masih merasa harus meningkatkan rasa percaya diri, keberanian, dan mengupayakan kesehatan mental. Alhamdulillah kita menyadarinya dan mengupayakannya ya. Semoga Allah ridho.

    Reply
  2. Hehe … Menjadi penganguran itu berat memang. Rasanya seperti tertusuk ribuan jarum saat orang tua membutuhkan tetapi kita tidak bisa membantu. Pedih ya, sedangkan kalau bekerja kita bisa leluasa memprioritaskan rezeki kita untuk mereka.

    Bagaimanapun juga kita tetap harus bangkit. Kuat.

    Reply
  3. Ini perasaan saya saat baru menikah teh. Saya yang memang workaholic tiba-tiba di rumah aja menunggu suami. Jelas saat baru menikah itu rumah gak pernah kotor. Kan cuma berdua. Gak punya kerjaan lain selain ngetik doank di laptop sampe ketiduran. Bahkan seringnya sampe kayak ketindihan saking gabutnya.
    Akhirnya berdamai dengan diri. Saya pasti gak begini terus. Pasti episode lain hidup saya berubah. Beneran, setelah punya anak malahan berasa kurang sehari itu ada 24 jam. Semakin dinikmati semakin merasa Allah sayang sama saya.

    Reply
  4. Semanagt teh Okti, Allah tutup satu jalan Insya Allah akan Allah bukakan seribu jalan.. semoga segera menemukan lagi sumber rezeki yang dapat menjadi sumber penghidupan dan sumber berkhidmat bagi sesama.. amiiiin

    Reply
  5. Kalau saya, Alhamdulillahnya pekerjaan nggak cuma satu. Jadi, pas waktu itu, di satu kerjaan, kontraknya udah habis, bisa langsung move on mengerjakan kerjaan berikutnya. Jadi memang penting banget Mbak mempersiapkan diri untuk menghadapi yang namanya PHK ini dengan mempersiapkan kerjaan-kerjaan lainnya, atau setidaknya, ada tabungan untuk bisa move on.

    Reply
  6. Saya mungkin berada di tengah ya.
    Jadi pas punya pekerjaan 9 to 5 jam kerjanya, it’s ok. Dan pas kerjaan saya full time wife n mom, pun ok juga.
    Saya orangnya cuek dan mager.
    Yg membuat saya jadi menjadi ‘agak khawatir’ tu sebenarnya kalo hipertensi saya lagi tinggi.
    Itu saya jadi stress, padahal kalo stress bisa nambah tinggi lagi tensinya ya kan..

    Reply
  7. Melalui fase-fase menata mental ini tuh emang susah dan dulu saya juga sempat down haha.. gapunya penghasilan, ngga bisa ngapa2in lagi rasanya hidup kayak kurang berartii apalagi saat itu saya blm ada anakk.. bener banget teh tips2 di atas

    Reply
  8. Tapi bener banget mbak, saya itu paling suka bekerja. Ketika menikah pun rasanya berat kalau harus resign. Tapi ketika seseorang harus menganggur karena takdir, memang sebaiknya kita legowo dulu ya mbak. Makasih remindernya

    Reply
  9. Kalau Teh Okti mah pastinya cepat move on ya meski mengalami PHK. Sebagai seorang narablog pastinya setiap hari menulis terus dan insyaallah dari konsistensi tersebut sponsored post pun berdatangan menjadi rezeki buat blog ini ya, aamiin.

    Reply

Leave a Reply to Vivi Cancel reply

Verified by ExactMetrics