Mengenang Ramadhan Mengulas Masa Kecil
Masih ingat pertama kali belajar puasa? Tertawa sendiri tutup muka malu rasanya jika mengingat saat belajar berpuasa ketika kecil.
Ada pengalaman yang bikin diri ini menakar ulang kembali ketika mengajarkan berpuasa kepada anak. Karena seolah yang dihadapi adalah diri saya sendiri. Bersama semua kenangan Ramadhan saat saya kecil, sekitar 35 tahun lalu…
Senyum sendiri ketika mengingat saya pernah berbohong, pura-pura berpuasa padahal sudah bocor. Hihi… aib yang tidak tahu saya ceritakan ke anak, demi anak bisa lebih baik daripada saya.
Kucing-kucingan mencuri-curi makanan di dapur ketika Mama lengah dan tidak di rumah. Tanpa saya kepikiran orang tua pasti mengetahuinya karena semua itu meninggalkan jejak sementara di rumah tidak ada siapa-siapa. Siapa lagi coba tersangkanya? Kalau jaman sekarang mikirnya udah sampai sana. Saat itu mah boro-boro kepikiran…
Mengenang masa merasa bersaing dengan saudara kandung, karena cemburu melihat adik diperbolehkan berbuka sementara aku yang notabene anak paling besar tidak diperbolehkan, padahal usia kami hanya terpaut beberapa bulan saja. Rasanya tidak adil saja gitu. Ketika jam tiga sore saya masih dipaksa untuk bertahan menahan lemas, sementara giliran adik, sudah jam setengah enam sore, iya tinggal setengah jam lagi ke beduk magrib, Bapak dan Mama malah mempersilahkan adik minum. Kesel kan? Terasa banget pilih kasihnya.
Tapi semua itu ternyata sebuah pelajaran hidup yang teramat berharga untuk saat ini, masa dimana saya sudah punya anak dan kembali mengajarkan kepada anak untuk belajar lagi berpuasa.
Pengalaman berpuasa saat kecil baik yang menyenangkan maupun yang bikin kesal sendiri jadi cermin saat ini ketika saya merasakan sendiri bagaimana dibutuhkannya kesabaran serta perhatian kepada anak saat mendidiknya menjalankan ibadah puasa serta ibadah lainnya. Ibarat pepatah buah yang jatuh tidak akan jauh dari pohon, apa yang saya alami dulu kini kembali saya hadapi.
Namun teramat bersyukur, saya yang masih memiliki satu anak, dengan posisi sebagai ibu di rumah yang tidak meninggalkan anak untuk bekerja jadi bisa lebih leluasa dan maksimal dalam memberikan perhatian dan bimbingan. Alhamdulillah setiap gerak langkah anak dapat terpantau. Bukan ini lantas jadi ajang membatasi gerak anak, bukan, tetapi justru saya jadi bisa merasakan dunia anak. Saya jadi merasakan bagaimana fleksibilitas dan kenyamanan di posisi anak. Meski tentu saja harus menyesuaikan dengan kondisi karena jelas jaman saya masih anak sekitar 30 tahun lalu itu berbeda dengan jaman sekarang.
Hal yang sangat saya syukuri sekarang adalah ketika anak laki-laki kami di usia 5 tahun ini ia sudah berhasil menamatkan berpuasa. Full dari adzan subuh hingga adzan magrib. Ditambah solat wajib yang hampir 5 kali setiap harinya dilaksanakan di masjid. Saya yakin tidak ada kebahagiaan lain yang bisa dirasakan oleh orangtua manapun selain itu. Tak ada yang sebanding dengan kebahagiaan dalam pencapaian itu. Sungguh.