Pendidikan Pedang Kehidupan

Pendidikan Pedang Kehidupan

Kemarin sepulang sekolah, setelah ganti pakaian dan makan camilan yang tersedia di meja, Fahmi izin main di teras rumah Salwa, anak tetangga.

“Tapi Ami mau bawa buku dan pensil, Bu.”

Ketika ditanya buat apa, jawabnya mau jadi guru. Maksudnya mungkin mereka akan belajar bersama. Hanya karena Fahmi sudah kelas dua, sementara Salwa kelas satu, maka Fahmi yang berperan sebagai guru.

“Jangan main dulu lah, bantu ibu dulu yuk,” pinta saya sedikit membujuk. Saat ini saya memang sedang repot karena sedang ada orang bekerja di belakang. Rencana kami mau bangun satu ruangan untuk tempat mengaji anak santri. Selama ini kasihan anak mengaji umpel-umpelan di ruang tamu yang sempit itu. Dan Fahmi biasanya bisa saya andalkan untuk pekerjaan ringan.

“Duh, ibu. Ami sudah janji.” Katanya merenggut.

Saya tertawa. Lalu mengangguk membiarkan ia belajar dan main ke rumah Salwa yang jaraknya hanya terhalang jalan.

“Nuhun ibu. Nanti kalau Ami terus belajar sekolah-sekolahan bisa jadi pahlawan nasional.” Katanya seraya berlari menenteng buku dan tempat pensil.

Saya tertawa. Itu anak ada saja ulahnya. Apa katanya tadi? Jadi pahlawan nasional? Ha-ha-ha. Itu pasti karena termakan cerita dari neneknya di Sukanagara. Soalnya beberapa hari lalu saat menginap di neneknya, sepupunya juga ikut menginap di sana. Mereka pasti bercerita seru soal itu.

Saya tahu karena seperti diceritakan si mamah kepada saya jaman saya kecil, si mamah selalu bercerita tentang Raden Dewi Sartika. Tidak bosan-bosan karena hanya kisah tokoh itu yang diketahui si mamah. Itu pun –sebagaimana diakuinya– tahu dari cerita gurunya lagi saat sekolah di madrasah dulu.

Tidak heran jika setelah terus menerus saya yang dicekoki tokoh heroik perempuan Sunda itu, kini Fahmi cucunya yang juga mendapatkan cerita yang sama.

Saya sendiri merasa senang ketika si mamah dulu bercerita –tepatnya mendongeng—tentang tokoh pahlawan nasional Raden Dewi Sartika ini. Memang banyak motivasi hidup dan nilai kebaikan yang bisa diajarkan kepada anak, khususnya dalam hal semangat dunia pendidikan.

Seperti kita tahu, Raden Dewi Sartika yang lahir di Cicalengka, Bandung, 4 Desember 1884 ini adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita di tatar Sunda. Ia diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1966.

Cerita dari si mamah, juga dapat membaca dari berbagai sumber, dikatakan kalau sejak masih anak-anak, Raden Dewi Sartika selalu bermain sekolah-sekolahan dan ia yang menjadi gurunya. Hal itu selalu dilakukannya setelah pulang sekolah bersama teman-temannya.

Bagi Dewi kecil, pendidikan penting untuk mendapatkan kekuatan dan kesehatan. Anak harus sehat secara jasmani maupun rohani. Kudu ”cageur bageur” (sehat rohani, jasmani dan berkelakuan baik) selain pendidikan susila dan pendidikan kejuruan. Dewi kecil pada masa itu sudah memikirkan jika pendidikan penting untuk kaum wanita.

Dalam buku yang ditulisnya, Raden Dewi Sartika menghendaki adanya persamaan hak antara laki-laki dan wanita. Untuk bisa bekerja wanita harus diberi pendidikan.

Satu yang sangat dipegang Raden Dewi Sartika adalah pendidikan yang sesuai dengan budaya Sunda. Meskipun sebelumnya ia sudah menerima pengetahuan mengenai budaya barat namun ia tidak melupakan adat serta tradisi tatar Pasundan.

Sejarah mencatat 16 Januari 1904, Raden Dewi Sartika membuat sekolah yang bernama Sekolah Isteri di Pendopo Kabupaten Bandung. Sekolah tersebut kemudian direlokasi ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri pada tahun 1910. (Wikipedia)

Karena banyak diminati, sekolah yang dibuatnya terus berdiri di berbagai daerah di Jawa Barat. Hingga akhirnya berkembang menjadi satu sekolah di tiap kota maupun kabupaten di Jabar. Pada September 1929, sekolah tersebut berganti nama menjadi Sekolah Raden Dewi. Di Cianjur sendiri ada sekolah Ibu Dewi yang beralamat di Jalan Siliwangi.

Kisah keutamaan pendidikan bagi semua kalangan itu yang terus ditekankan si mamah, sebagaimana begitu juga gurunya dulu menekankan pentingnya pendidikan kepada anak didiknya. Tidak heran kalau si mamah menerapkan hal yang sama kepada saya, dan kini kepada cucunya, Fahmi.

Ditambah dengan menikah ke almarhum bapak yang asli Tasikmalaya, si mama sempat mengunjungi patilasan makam Raden Dewi Sartika di Cineam (makamnya sudah dipindahkan) Raden Dewi Sartika memang meninggal di Tasikmalaya pada pada 11 September 1947 dan akhirnya makamnya dipindahkan ke Bandung. Maka semangat bercerita tentang Raden Dewi Sartika si mamah pun semakin bertambah.

Bagi kami, khususnya saya dan keluarga, dan mungkin umumnya urang Sunda, Raden Dewi Sartika bukan hanya sebatas pahlawan nasional, karena jadi pahlawan itu bukan tujuan beliau dalam perjuangannya menerapkan pendidikan kepada semua kalangan. Toh ia lahir dan menjalankan program sekolah keutamaan istri jauh sebelum bangsa ini merdeka. Tetapi lebih kepada keyakinannya jika pendidikan itu modal untuk mempertahankan kehidupan, karena disadari dengan pendidikan yang setara hidup akan terasa lebih mudah dijalani.

20 thoughts on “Pendidikan Pedang Kehidupan”

  1. Teh baru tahu makamnya teh dipindahin ke Bandung hehhee jadi penasaran pengen lihat makam Dewi Sartika 🙂

    Tokoh inspirasi untuk perempuan ya teh 🙂 jadi pengen baca-baca lagi tentang Dewi Sartika

    Reply
  2. Ma sya Allah, beliau sungguh visioner sekali, ya, Bund. Menerima pendidikan barat, mengambil yang baiknya, sekaligus tetap memegang tradisi setempat. Kebayang zaman itu pasti banyak pihak yang belum siap atau heran dengan ide seperti itu, mendidik kaum wanita secara khusus, dan beliau tidak gentar dengan itu.

    Reply
  3. Betul sekali, mbak, “karena disadari dengan pendidikan yang setara hidup akan terasa lebih mudah dijalani.” Pendidikan antara laki-laki dan perempuan itu harus sama-sama terpenuhi Jadi inget pas SD dulu juga pernah diceritain tentang Dewi Sartika sama guru.

    Reply
  4. Yang selalu aku pikirkan kalo saat Hari Kartini adalah, kenapa peran tokoh wanita yang ditonjolkan hanya Kartini aja? padahal ada banyak tokoh wanita lain spt Rasuna Said, Dewi Sartika, dll yang perjuangannya justru lebih konkret hanya saja mereka bukan kompeni-darling, hehe.

    Reply
  5. Emang penting banget sih sedikit banyak tau tentang sejarah dan pahlawan2 Indonesia, supaya kita banyak belajar darisana. Salah satunya tokoh wanita Indonesia yang sangat menginspirasi di bidang pendidikan. Membaca cerita ini memberikan semangat baru buat pembaca untuk lebih giat belajar..

    Reply
  6. Permainan guru-guruan, memang sudah turun temurun ya termasuk saya dulu sampai anak saya sendiri. Dan ternyata tokoh inspiratif seperti Dewi Sartika juga melakukan hal sama saat kecil, dan perjuangannya saat dewasa patut banget di contoh. Siapa sih yang tak kenal dengan sosok Dewi Sartika ini.

    Reply
  7. Setuju Mbak. Pendidikan adalah hal penting untuk keberlangsungan kehidupan. Keberadaan manusia lebih beradab dengan pendidikan, karena h tersebutlah akal dimanfaatkan. Terima kasih remindernya Mba

    Reply
  8. Wah masya Allah,, kalo sebagai orang Jawa Tengah, saya seringnya dapat cerita tentang Ibu RA Kartini.. Saya jadi kagum bgt sama beliau, mungkin jadinya sama ya kyk Mbak jadi kagum sama Ibu Dewi Sartika. Semoga kita bisa meneruskan jejaknya menjadi wanita yang menginspirasi ya.. aamiin

    Reply
  9. Fahmi gemes bgt mau jadi pahlawan nasional. Aku juga dulu waktu sd sering main guru2an, tapi sama boneka mainnya hahaha. Seru bgt, akhirnya sekarang aku udah lulus kuliah dan insya Allah mau jadi guru. Guru juga pahlawan, kok. Hehe 🙂

    Reply
  10. Inspiratif sekali yaa sosok pahlawan wanita Dewi Sartika ini. Aku respek dengan perjuangannya untuk wanita Indonesia dalam hal mendapatkan pendidikan yang pada zamannya belum bisa di akses dengan mudah. Dan kalau mau ditelaah, justru Islam sudah lebih dulu mengangkat aspek kesetaraan mendapatkan pendidikan ini namun tanpa melupakan fitrah sebagai wanita muslimah

    Reply
  11. Tokoh inspiratif sekali ya mba, selama ini belum begitu tahu perannya Dewi Sartika, terutama yang memberi pencerahan di bidang pendidikan. Terimakasih banyak ilmu barunya. Seneng juga kalau anak-anak mulai punya sifat-sifat berbagi ilmu. ehhehe Jazakillah….

    Reply
  12. Saat masih SD, saya kerap bingung membedakan antara RA Kartini dan Raden Dewi Sartika. Konyolnya lagi, saya pernah mengira mereka itu bersaudara. Ternyata (akhirnya saya tahu) jika Raden Dewi Sartika berasal dari Jawa Barat.

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics