Hampir saja tabrakan! Ketika turun dari sepeda motor, jalan menunduk sambil mengecek dompet dan tas belanjaan, eh tiba-tiba di belokan muncul seseorang membawa kardus sekian banyaknya. Kaget dong!
“Eh, Ibu. Maaf… Ke pasar Bu?”
Setelah berpikir sejenak saya juga baru ngeh, kalau yang berpapasan dengan saya itu ternyata tetangga di kampung. Bu Isah namanya.
“Ah iya, maaf ya Bu, saya gak lihat-lihat. Hampir saja nabrak. Ini belanjaan nya? Udah beres ya?”
Saya lihat yang dibawa Bu Isah dus makanan ringan. Bukan belanjaan sayuran basah pada umumnya.
“Iya Bu. Belanja buat warung. Yah, sekadar ngisi waktu luang. Sambil momong anak. Lumayan Bu, gak bengong juga. Hehe…”
“Bagus itu, Bu. Semoga laris manis selalu ya jualannya. Mari…”
Saya akhiri obrolan tidak disengaja itu sambil bergegas jalan lagi. Sementara dari sudut mata saya lihat Bu Isah masih mengatur dus-dus belanjaan yang begitu banyak di atas motornya. Sesekali terlihat ia mengusap peluh di wajahnya. Selelah itukah keseharian Bu Isah?
Bu Isah dulunya berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI, sekolah setara SD) Setiap pagi saya sering melihat berangkat bareng suaminya yang juga mengajar di tempat yang sama.
Sekolahnya lumayan jauh dan terpencil, jadi berangkat dan pulang bareng selalu mereka usahakan. Mungkin supaya irit biaya bensin.
Dulu, Bu Isah pernah bertanya, kenapa saya gak ngajar juga biar sama dengan suami. Saya tertawa saja. Sambil bilang kalau saya gak sabaran orangnya.
Eh, Bu Isah ga percaya. Secara ia juga tahu kalau di rumah saya juga kan ada anak mengaji yang jumlahnya sama dengan murid satu kelas di sekolah formal.
Saya gak menyanggah. Tapi diam saja. Padahal dalam hati, saya ngaku malas jadi guru kalau sekadar menjadi honorer di sekolah terpencil. Udah perjuangannya berat, eh bayaran nya cuma seratus sampai tiga ratus ribu per bulan. Saya mana mau?
Kalau sedang beruntung, tiga ratus ribu itu rata-rata untuk bayaran satu kali job. Mana kerjanya mudah dan santai. Bisa sambil nonton film, bisa ambil mendengarkan lagu K-Pop terbaru.
Maaf. Bukan mau menyepelekan rezeki, atau tidak mensyukuri penghasilan seseorang. Tapi jaman sekarang, buat pulsa internet saja seratus dua ratus ribu, segitu udah habis. Yakan? Lalu keperluan lainnya? Sementara jadi guru itu penampilan harus terjaga. Setidaknya kerudung harus licin, sepatu harus mengkilap, kalau enggak, bisa menjatuhkan marwah tenaga pendidik dong?
Selebihnya ya saya udah nyaman aja dengan aktivitas sehari-hari saya. Meski banyak yang bilang saya pengangguran, kalau lagi ada rezeki, sebulan satu juta rupiah saja mah udah bisa saya kumpulkan hasil dari fee ngeblog dan media sosial.
Itu bersih, tanpa harus keluar rumah. Tanpa harus meleng dari jagain anak, gak perlu ganggu tugas sebagai ibu rumah tangga yang lebih utama. Sambil rebahan mantengin blog drama Korea terbaru pun gak masalah. Ya, semudah itu.
Lalu bagaimana saya mau kalau harus berangkat pagi pulang lewat duhur, penampilan dan kesopanan harus dijaga, sementara yang didapat tak seberapa…
Sampai Bu Isah hamil anak kedua, saya lihat Bu Isah masih berangkat ngajar ke sekolah. Namun belum setahun usia anak kedua, Bu Isah hamil lagi dan setelah melahirkan anak ketiga, ia tak berangkat ngajar lagi. Mungkin sudah resign. Suaminya pun pindah mengajar ke tempat yang lebih dekat.
Ketika silaturahmi lebaran, saya baru tahu kalau Bu Isah rumahnya sudah direnovasi dan ia memiliki warung kelontong. Katanya kesehariannya selain momong anak juga ya jagain warung.
Saya pikir wah, pasti labanya besar tuh. Secara di sekitar rumahnya, banyak anak-anak yang dipastikan jajannya tak akan kemana.
Sampai saya kepikiran apa saya juga buka warung aja gitu? Depan dan samping rumah masih ada lahan kosong. Suami pun sempat punya ide untuk bangun ruko. Walaupun tidak berjualan, tetap bisa disewakan secara pinggir jalan desa lumayan ramai. Depan kantor PLN Kecamatan pula.
Tapi keinginan saya itu langsung luruh manakala tidak sengaja ketemu lagi dengan Bu Isah, suaminya dan kedua anaknya terkecil (anak pertama ga ikut) di sebuah kedai bakso.
Dua anaknya nangis ingin jajan camilan yang dijembreng dekat kasir. Tapi entah kenapa Bu Isah gak membiarkannya. Hanya membujuknya supaya sabar menunggu bakso pesanan mereka datang.
Saya, Suami dan anak yang sudah lebih dulu selesai dengan pesanan bakso tak langsung pulang. Selain meredakan rasa pedas, juga menghabiskan minum kami masing-masing.
“Bu, jajanan gopek aja gak dikasih. Berisik kan jadinya…” bisik anak saya gak nyaman dengan tangisan dua bocah yang berjarak tak sampai setahun itu.
Yah, mau bagaimana lagi. Bukannya saya tak ingin memberi tapi saya kan ga tahu maksud Bu Isah tidak membiarkan anaknya jajan itu kenapa… Bisa saja jajannya itu makanan yang dipantang untuk anaknya, kan? Kalau saya asal ngasih bisa celaka nanti.
Sambil menunggu anak dan suami selesai (kami emang suka sengaja kalo ke kedai bakso ini untuk main dan santai) saya datangi meja Bu Isah dan mencoba ngobrol dengannya. Menyapa juga anak-anaknya sekadar mencoba meredakan tangisnya.
“Mereka ini memang gak bisa dibilangin Bu, tapi nanti juga diem sendiri kok…” kata Bu Isah. Saya hanya manggut-manggut saja.
“Sayang banget kalau jajan di sini. Harganya kan hampir tiga kali lipat. Padahal di rumah juga ada banyak. Keuntungan dari jajanan anak itu gak seberapa, cuma dua ribu rupiah per lusin. Di sini beli dapat satu kalau di rumah bisa delapan.” Jelasnya .
Saya tak bisa menyembunyikan keterkejutan. Emang ga tahu sih bagaimana keuntungan jualan di warung begitu.
“Keuntungan di warung seharian bisa habis hanya untuk beli jajanan anak sekali di sini.” Bu Isah memastikan.
“Saya pikir Bu Isah mendapatkan keuntungan besar dari penjualan di warungnya…” Sungguh saya ga bisa untuk tidak bertanya berapa keuntungan jualannya kalau dirata-rata.
Dan saya sampai melongo mendengar jawaban nya. Katanya gak sampai dua puluh ribu rupiah. Maklum jajanan anaknya juga kan yang seharga seribu dua ribu. Kalau habis satu lusin, keuntungan paling besar lima ribu rupiah. Sementara per hari jarang laku sampai lusinan gitu.
Jadi Bu Isah seolah menyediakan jajan buat anaknya saja. Biar gak terlalu mahal. Kalau laku terjual ya untung. Kalau tidak, ya buat jajan anak-anaknya. Begitu katanya.
Saya menarik nafas. Apalagi mengingat pas ketemu hampir tabrakan dengan Bu Isah di pasar itu. Terlihat ia begitu repot dan lelah. Mungkin setiap hari ia melakukannya? Sementara keuntungannya?
Rasanya saya beruntung dan bersyukur banget, meski suka dianggap kerjaannya hanya main hape saja, tapi justru dari sana saya bisa mendapatkan cuan. Memenuhi kebutuhan keluarga, nabung dan bahkan belanja keinginan sendiri.
Kadang saya jadi malu sendiri, ketika ada job receh dengan fee hanya sepuluh dua puluh ribu rupiah itu sering saya abaikan tak tertarik untuk mengambilnya. Padahal Bu Isah sampai harus kelelahan dan keluar tenaga dulu untuk mendapatkan keuntungan sebesar itu.
iya teh, mengumpulkan sedikit demi sedikit, walau kecil nanti lama2 akan terasa juga. bersyukur atas rezeki yang diberikan. semoga berkah berapapun yang didapat ya, Aamiin..
Membaca tulisan Teteh ini, saya jadi ingat salah satu peribahasa Jawa : Urip iku sawang sinawang, yg artinya kurang lebih kita kita seringkali mengira nasib/rezeki orang lain lebih baik dari kita, padahal belum tentu. Yg sebenarnya terjadi mungkin samasekali berbeda dengan perkiraan kita. Yang jelas, saya juga diingatkan utk lebih banyak bersyukur. Terima kasih ya Teh..
MashaAllaa~
Aku jadi inget betapa diri ini seriiiing sekali mengeluh kalau ada kekurangan. Seharusnya bisa bersabar seperti Bu Isah, karena memang mencari 1 rupiah itu juga sangat berharga,
Teh Okti,
Terima kasih sudah berbagi. Rasanya banyak sekali hal-hal di sekitar kita yang bisa kita petik hikmahnya seperti ini.
Barakallahu fiik~
Jadi merasa bersyukur banget bisa punya penghasilan dari ngeblog yang nggal seberapa tapi masih bisa buat ditabung itu pun di dapat gak sampai keluar rumah dan melakukan pekerjaan berat. Dari cerita tentang Bu Isah ini jadi merasa bersalah juga kalau menganggap remeh job receh yang buat orang lain di luar sana itu baru bisa dapat setelah berpeluh keringat.
Menjadi guru honorer memang menang di gaya doang, isi dompet tidak mendukung. Saya tahu itu saat menjadi kepala sekolah di sekolah swasta selama 2 periode. Sering prihatin apalagi kalau dana BOS telat maka menunggulah sampai 3 bulan baru gajian.
Mau bagaimana lagi, sarjana pendidikan banyak sementara sekolah tempat mengabdi hanya di sekolah swasta yang mengandalkan dana BOS, sekolah negeri apa lagi.
Semoga pemerintah memperhatikan hal ini karena pendidikan adalah napasnya suatu bangsa.