Fahmi putra saya berusia 11 tahun di bulan Maret ini, bertepatan dengan bulan Ramadan 1445 H.
Jauh sebelum bulan puasa tiba, ia selalu mengatakan kalau tak sabar rasanya ingin segera bulan puasa. Saya sendiri sampai merasa tidak percaya ketika Fahmi lebih antusias menanti kepastian sidang isbath, penentuan kapan jatuhnya tanggal 1 Ramadan dibandingkan membicarakan peringatan hari lahirnya pada awal Maret lalu.
Sampai saudara dan tetangga saya ada yang merasa heran. Katanya Fahmi mah beda ya, anak lain mah merasa enggan memasuki bulan puasa teh (mungkin malas menahan lapar) sementara Fahmi malah begitu antusias menginginkannya.
Padahal saat saya tanya, kenapa ingin segera memasuki bulan puasa? Jawabannya biar banyak makanan yang enak-enak saat berbuka, biar bisa main di halaman masjid setelah pulang solat tarawih seru kan bisa main petasan dan perang sarung-sarungan, dan biar bisa punya uang banyak, secara emang adik saya suka ngasih reward ke Fahmi kalau ia berhasil full tamat sebulan menjalankan puasanya.
Glek! Ada-ada saja dasar bocah! Kirain pengen segera memasuki bulan Ramadan itu alasannya apa, yang lebih kuat dan sahih, kek. Seperti biar bisa menamatkan bacaan Al Qur’an , atau biar bisa ikut pesantren kilat, dan sebagainya. Ini ternyata alasannya sungguh di luar nurul.
Tapi setidaknya, menurut saya pribadi sudah bagus itu anak sejak dini memiliki keinginan dan ketertarikan akan menjalankan ibadah di bulan suci umat Islam. Soal alasannya yang masih dianggap kekanak-kanakan, itu bisa diluruskan secara bertahap sesuai dengan tingkat usia dan kedewasaannya.
Fahmi sudah belajar puasa sejak usia lima tahun. Tentu saja tidak langsung seharian full. Melainkan secara bertahap, mulai seperempat hari, setengah hari, sampai bisa berpuasa sehari full.
Selain itu mungkin karena di rumah kami setiap hari ada anak mengaji, jadi ia sering mendengarkan bagaimana anak-anak santri diceritakan apa saja keutamaan puasa, fadilah puasa, bagaimana besarnya pahala puasa dan informasi sesuai didapat dari ajaran guru melalui kitab kuning terkait ibadah puasa lainnya sering ia dengar. Mungkin secara tidak langsung informasi dasar itu sudah tersampaikan dan dicerna secara mandiri oleh jiwa raganya.
Begitu juga dengan lingkungan sekitar tempat tinggal kami di kampung ini. Dibandingkan dengan kondisi keadaan di perkotaan yang sudah lebih heterogen, bulan puasa di pedesaan terasa lebih khidmat dan suasananya lebih kental.
Aktivitas keagamaan baik untuk anak-anak maupun orang dewasa sebagai pengisi ibadah di bulan Ramadan masih cukup padat dan diutamakan. Yah, meski tidak bisa dipungkiri saat ini ke pedesaan juga sudah masuk godaan dari yang namanya gadget dan game online. Dan itu pengaruhnya sangat kuat sekali, tapi setidaknya ada kegiatan seperti pesantren kilat, tadarusan, kaligrafi, dan kegiatan mengaji lainnya bisa sedikit meluruskan kebiasaan yang seharusnya dijalankan anak-anak.
Beda dengan cerita keponakan teman saya yang tinggal di perkotaan. Mau ikut pesantren kilat harus diantar jemput karena lokasinya jauh dari rumah. Mau ke masjid harus didampingi karena dengan tetangga sudah acuh tak lagi saling menjaga dan memperhatikan.
Mau belajar mengaji harus keluar biaya dan waktu mengingat di perkotaan mendatangkan guru mengaji itu ibarat mendatangkan guru les/ privat. Beda dengan di kampung ustadz dan ustadzah masih banyak yang mengabdikan diri dengan sukarela. Bahkan pada umumnya di sini mengajarkan mengaji itu tanpa dibayar. Tinggal kemauan dan semangat anaknya saja.
Jadi kalau ada anak yang antusias menyambut bulan Ramadan maupun anak yang acuh dengan bulan suci umat Islam, tinggal kita lihat saja bagaimana keseharian anak itu apakah bergaul di keluarga yang agamis, atau tidak.
Begitu juga dengan lingkungan tempat tinggalnya, apakah lingkungan sekitar tempat tinggalnya cukup agamis atau lingkungan heterogen seperti di perkotaan pada umumnya?
Memang hampir anak-anak semua begitu, Mbak. Saya juga begitu. Suka bulan Ramadan, karen bisa buka puasa bareng teman di Majid. terus lanjut tarawih. Teru subuhnya bisa jalan-jalan. Dan benar, pas puasa, banyak makanan enak di rumah hahaha. Paling jawaranya, punya baju baru buat lebaran
Bener Teh… Kalau di kompleks sini, memang sepi sih…Apa karena rata-rata yg menetap di kompleks udah engga ada anak kecil yah. Tarawih ya lebih banyak orang dewasa sih.
Tapi ntar Lebaran, baru deh banyak anak-anak kecil. Rupanya cucu-cucunya tetangga yang libur Lebaran.
kalau lingkungannya mendukung untuk konsisten berpuasa, si kecil juga jadi semangat ya. karena faktor utama memang di lingkungan, dan ini berpengaruh juga dengan orang dewasa kayaknya
Bener teh anak-anak di kampung itu lebih antusias karena banyak tradisi yang dilakukan. Sama halnya dengan nunggu Ramadan biar bisa berbuka dengan banyak makanan. Setidaknya mereka sudah rindu sama Ramadan ya. Masya Allah, memang kalau bulan puasa lebih enak di kampung sih, vibes-nya tuh beda, hehe.
Yah. Buat anak-anak urusan puasa memang hanya sebatas itu saja. Hal yang terpenting adalah dia terbiasa. Lalu pelan-pelan orang tua akan menanamkan hal yang benar tentang puasa.
Disini karena gak masuk perkotaan, rame anak-anak berpuasa pada senang. Apalagi ada pesantren kilat di pengajian dan di sekolah
Biasanya sih org tuanya nih pasti yg ngenalin anaknya puasa. Soalnya kalo ortunya rajin puasa, anak jg bakal ngikut. Apalagi kalo anak dkt bgt dgn ortunya plus si anak jg dimasukkan sekolah agama/TPA yg selalu ngajarin ttg nilai2 agama. Lingkungan itu emg pntg bgt guys.
Di komplesku sepi, Teh, karena memang nggak banyak bocil. Yang bikin rame justru anak-anak luar kompleks yang suka main ke kompleksku. Entah ngabuburit di lapangan atau ikut bukber di masjid (masjidnya juga deket lapangan).
Smaa kayak aku dulu teh, suka bulan puasa karena euforianya. Jadi selalu semangat meskipun kadang ya puasanya bolong-bolong
Anak-anak dan kepolosannya yaa, teh..
Sudah punya kesukaan akan hadirnya bulan Ramadan ini mashaAllah…shaliih sekalii..
Dan sambutan yang khas anak-anak agar mereka tetap semangat meski banyak ujian di sekitarnya.
Benar. Lingkungan memang sangat berpengaruh. Tapi kebiasaan dalam keluarga juga pengaruh. Seperti anakku. Lingkungannya memang acuh tapi kalau saya mengajak anak ke masjid dan membiasakan puasa, anak akan ikut. Jadi kuncinya bukan di lingkungan luar. Tapi lingkungan dalam keluarga. Orang tua yg harus memberikan contoh yg baik untuk anak anaknya.
betuk teh, lingkungan memang berpengaruh banget. pas lg ayahnya dinas, dan akunya halangan gak puasa, si anak jadi mulai kendor deh huhu
Jangankan anak-anak, orang dewasa pun kadang turun naik imannya. Ada juga yang semangat puasanya turun naik hehehe
Kalau untuk menambah semangat anak berpuasa, memang paling pas itu dengan memberikan contoh.
Alhamdulillah Teh, saya juga merasakan manfaat tinggal di kampung ketika menjelang Ramadan ini. Anak-anak memang terlihat antusias menyambutnya dengan alasan versi mereka sendiri tentunya.
Berharap di mana pun kita tinggal para orang tua bisa memberi pengertian tentang berkahnya bulan Ramadan sehingga anak-anak di kota maupun di desa sama-sama semangat menyambut bulan suci ini
Anak-anak lucu ya alasannya, anakku juga gitu Teh, katanya enak kalau lebaran uangnya banyak, niat puasanya juga masih sebatas ingin dapat reward, namanya juga anak-anak masih berproses kan
Belum pernah ngerasain puasa di pedesaan, kayaknya enak banget ya teh. Khidmat dan tenang rasanya. Suasananya pasti tentram banget selama bulan ramadan.
Wah, benar juga ya, Mbak! Lingkungan dan keluarga memang punya peran besar dalam membentuk kecintaan anak terhadap ibadah, terutama bulan Ramadan. Ternyata, antusiasme Fahmi yang tinggi itu bisa jadi karena atmosfir agamis di sekitarnya dan dukungan keluarga yang kuat dalam mendidiknya. Semoga semangat Fahmi bisa menjadi inspirasi buat anak-anak lain yang mungkin butuh dorongan lebih untuk menjalankan ibadah dengan penuh keikhlasan dan semangat! ✨