Menerapkan Konsep Kemarahan kepada Anak

Menerapkan Konsep Kemarahan kepada Anak

Sabtu ini sengaja saya menunggu Fahmi di sekolah sampai jam terakhir usai. Sekolah di kampung ini memang masih berlangsung enam hari selama seminggu. Hari terakhir ulangan semester dilaksanakan dalam kondisi hujan itu sesuatu banget pastinya buat mereka. Anak SD yang masih suka bermain di bawah derasnya air hujan. Biasanya dengan hasutan teman sekaligus kakak kelasnya, mentang-mentang akhir pekan selalu jadi alasan untuk bermain tanpa memikirkan apakah pakaian seragam akan kotor?

Ternyata bukan hanya saya saja yang menunggu anak sampai ulangan selesai. Ada beberapa orang tua dari teman sekelas Fahmi juga yang sama-sama menunggu. Tanggung antar jemput jika jeda waktu hanya satu jam sementara cuaca juga tidak begitu terang. Beberapa alasan mereka sama.

Benar saja, gerimis turun ketika satu per satu anak keluar kelas. Saya bersiap mencegat Fahmi ketika salah satu teman sekelas Fahmi tiba-tiba berlari ke luar menuju lapangan. Hujan rintik-rintik langsung diterjangnya. Dasar anak.

Beberapa anak mengikuti ulah anak pertama yang bermain di bawah gerimis akhir pekan. Saya tahu kalau orang tua mereka ada pasti dicegah atau malah langsung dimarahi. Pemandangan yang sering saya temui di kampung ini: orang tua memarahi anak di tempat umum. Tanpa lebih dulu memberikan kesempatan kepada anak untuk mengemukakan alasan, atau penyebab kenapa si anak melakukan hal yang menurut orang tua nya tidak boleh dilakukan itu.

Baru saja kepikiran hal seperti itu, eh bener saja ada seorang ibu-ibu berteriak memanggil seorang anak yang tengah berlari di tanah lapang sambil menciprat-ciprat air hujan. Saya yakin itu ternyata seorang kemarahan nenek terhadap cucunya. Ya mungkin karena orang tua si anak sibuk, maka urusannya di sekolah dipegang oleh neneknya.

Dan pemandangan seperti saya ilustrasikan pun benar saja diputar ulang. Nenek memarahi cucunya saat itu juga. Teman-teman si cucu yang berada di sekitar mereka memasang berbagai perangai. Ada yang diam, ada yang mencibir dan mengejek kepada si cucu seolah puas mendapatkan temannya dimarahi habis-habisan oleh neneknya, dan ada juga yang tidak peduli.

Fahmi putra saya salah satu yang hanya diam. Tapi ketika kami sampai di pintu gerbang sekolah dekat parkiran, Fahmi bersuara. Kasihan ya, katanya. Kalau Fahmi mau main hujan-hujanan bilang dulu sama ibu. Ganti baju dulu. Jadi tidak dimarahi.

Saya hanya tertawa. Begitu karena ibumu mau mendengarkan alasan kenapa kamu mau bermain (misalkan) hujan-hujanan. Jawab saya dalam hati. Dan apa yang dilakukan setiap orang tua pastinya akan beda. Apakah orang tua anak lain mau mendengarkan apa yang disampaikan anaknya?

Jangan jauh dulu mau mendengarkan deh, apakah mau memberi kesempatan kepada anak untuk bicara, itu saja dulu. Belum tentu. Buktinya itu tadi, banyak yang belum apa-apa sudah langsung memarahi anak. Depan banyak orang lagi. Tidak memikirkan bagaimana dampaknya terhadap anak? Padahal saya lihat sendiri ada anak yang sengaja ikut mengejek juga.

Padahal kalau saya, sudah pasti cukup memanggil anak saja dulu. Tanya mau anak apa? Lalu cari solusi atau beri pilihan yang intinya tetap baik untuk anak, juga untuk kita. Seperti itu mungkin, sehingga Fahmi tadi bisa berani bicara kalau ia jadi anak yang dimarahi neneknya itu tadi, katanya mau bilang minta izin bermain hujan-hujanan saja dulu…

Setiap pola pengasuhan anak masing-masing pasti berbeda ya. Tapi kalau memarahi anak langsung di depan umum, apa dengan begitu bisa membuktikan kalau anak akan menurut? Dengan memarahinya di depan anak-anak lainnya, apa ada jaminan anak kita akan jadi anak yang lebih baik?

13 thoughts on “Menerapkan Konsep Kemarahan kepada Anak”

  1. Hiks, merasa ketampar saya 🙁
    Saya kadang nggak sabaran sama anak, eh kok kadang sih, sering.
    Si kakak juga cerewet banget, kadang ngomooongggg aja, nggak mau bergerak, jadinya saya kadang males mendengarkan ocehannya dan tidak memberikan kesempatan bicara.

    Jadi pengingat saya banget nih 🙂

    Reply
  2. Ya ampun bener bgt teh.. Jarang ada ortu yang ga langsung ngomel liat kelakuan anaknya.. haduuh aku mah sampe bosen liat emak2 ngomel di depan org banyak ke anaknya. Kasian deh si anak.. jadi pelajaran bgt buat aku nanti nih hehe

    Reply
  3. Bener mbak, pola pengasuhan anak antara keluarga yg satu dengan yang lainnya berbeda. Jangan keluarga kadang saya aja adun argumen kok dengan orang tua saya ketika saya menerapkan pola asuh yang berbeda dengan orang tua saya. Padahal ya ini anak saya…heheehe…

    Reply
  4. Yang penting komunikasi ya mbak, harus dengerin dulu penjelasan anak, ntar kita yang ambil tindakan. Mau memarahi atau bagaimana. Ternyata susah juga ya mbak jadi orang tua. Untung aja sering mampir kesini dan banyak belajar tentang parenting dan hal lain, jadi seenggaknya aku punya sedikit bekal kalau aku punya anak nanti.

    Reply
  5. Iya anak pasti ada rasa malu juga klau dimarahin di depan umum ya. Saya pribadi kalau marah ya di rumah pas gak ada org lain. Supaya anak gak terpecah jg fokusnya antara menahan malu atau dimarahi. Selain itu tentu saja pas marah jg sebaiknya dijelaskan salahnya di mana dan sebaiknya gmn supaya anaknya paham dan gak cuma dapat marah2nya aj hehe

    Reply
  6. Tak hanya di desa mba, di kota besar pun masih sering djumpai orangtua/nenek memarahi anak di tempat umum. Padahal hal tersebut bisa berdampak pada psikologis anak yang double-double. Kadang kita memang bisa marah banget kalau anak melakukan hal diluar kontrol, butuh kekuatan untuk bcara baik-baik dan tidak ditempat umum ya. Semoga kita selalu bisa belajar hal baik

    Reply
  7. Setuju mba.. apalagi dimarahindi tempat umum itu sangat tidak baik pada mental si anak.. kasian.. kita sebagai orang tua memang harus pintar2 menyalurkan amarah dengan seharusnya sekaliguanmemberi contoh pada anak

    Reply
  8. Marahin anak di depan umum selain bikin malu anaknya, pasti ada bekasan negatif juga sih ya mbak. Aku pernah liat kejadiannya di jalan, ortu yg marahin anaknya bener bener. Aku aja yang liat sedih, apalagi anaknya ya. Hmm. Tapi kembali lagi sih gimana ortunya.

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics