Cerita Horor: Masuk Alam Beda
Lupa-lupa ingat cerita tentang tersesat saat di gunung ini. Yang pasti ini kejadian jauh sebelum mendaki gunung ngetren seperti sekarang. Dulu saya beserta rombongan ke gunung karena kebutuhan. Mencari kayu bakar, atau usaha lain dalam mencari hasil hutan. Sekarang pergi ke gunung malah jadi gaya hidup. Tujuannya buat dapet foto bagus. Jaman dulu boro-boro foto, kamera saja pada tidak punya!
Dari semua peserta dalam rombongan, saya lah perempuan paling kecil. Tapi karena tidak nyaman dilihat para orang tua (sesepuh) kampung, maka diajaklah adiknya teman saya. Sebut saja Iqo. Perempuan juga dan usianya dibawah saya 2 tahun. Saya dan Iqo jadi teman baik bahkan akrab seperti teman sebaya saja.
Perjalanan dimulai. Karena saya dan Iqo masih anak bawang, bisanya cuma mengekor saja. Ke mana para pemimpin melangkah ke sana saya dan Iqo berjalan. Tidak jarang saya dan Iqo dibohongi para senior dengan modus mereka mengerjain kami.
Tapi meski banyak bercanda mereka cukup bertanggung jawab. Memang tim kami ini termasuk lengkap. Mulai yang jago navigasi, pandai memasak, terampil ilmu dalam soal survive di alam, sampai yang rajin ibadah dan karena itu kami sebut dia Kang Ki (kependekan dari Kang Kiayi).
Yang suka ngocol, yang sifatnya kalem, yang jago renang, yang manjat pohonnya cepat semua ada dalam rombongan ini. Komplit.
Perjalanan sampai tengah hutan tidak terasa melelahkan karena masih semangat dan terus disertai canda tawa. Kami mulai mengumpulkan apa yang kami butuhkan. Kayu bakar, madu hutan, jamur sampai tumbuhan paku-pakuan.
Sesuai pesan Kang Navi (teman yang kami diandalkan dalam soal navigasi) saya dan Iqo tidak boleh jauh-jauh. Maka saya dan Iqo hanya jadi penunggu hasil hutan yang kami cari.
Selesai mendapatkan kayu bakar dan hasil hutan lainnya waktu mulai menuju sore. Kami berkumpul untuk mendirikan tenda. Cuaca dingin membuat kami enggan keluar dari tenda. Malam itu setelah makan langsung tidur.
Keesokan subuhnya persiapan pulang, kami beres-beres. Apa yang akan kami bawa pulang sudah disiapkan sejak semalam oleh para lelaki kekar. Setelah dirasa tidak ada yang tertinggal kami pun beriringan kembali berjalan.
Istirahat sejenak untuk sarapan, jalan lagi. Tengah hari kami berhenti untuk makan siang, dan kembali berjalan. Tapi sampai ashar tiba kok merasa ada yang aneh…
Sampai saya dan Iqo saling bicara, “Tadi teh kita lewat ini. Kok sekarang ke sini lagi?”
Hingga semua saling mengiyakan kalau sebenarnya kami muter-muter saja di sekitar situ. Kami berjalan dan terus jalan tapi gak jauh dan gak berapa lama kembali lagi ke tempat yang sudah kami lewati.
Bulu kuduk mulai berdiri.
Saat kami berangkat tidak ada jurang dan bebatuan. Tapi saat itu dekat tempat kami berkumpul ada jurang yang tidak bisa kami lihat dasarnya saking sangat dalam.
Sampai hari mulai gelap kami belum sampai juga di tempat yang kami tuju. Peta dan kompas seolah tidak mengenal tempat yang kami injak.
Kami sepakat menginap (lagi) di sekitar tempat itu. Tahu kami tersesat kini kami tak lagi banyak ngobrol apalagi bercanda. Sepi sepi sesepi sepinya. Ada perlu sama teman saja cuma pakai isyarat.
Kami memilih mengurung diri di tenda masing-masing. Menghitung sepi, berharap malam segera pergi dan besok segera pulang ke rumah.
Semakin malam kami malah mendengar suara-suara ramai. Seperti ada banyak orang tapi entah biacara apa (atau bahasa apa). Ada yang seperti tertawa, nyanyi, jerit-jerit, dan banyak suara binatang. Seolah kami mendirikan tenda di dalam pasar saja. Banyak suara kaki yang berjalan kesana kemari.
Saya dan Iqo mengikuti Kang Ki untuk berdoa, membaca solawat, serta ayat Kursyi dan surat pendek lainnya. Begitu juga yang lain. Entah sampai kapan karena saya tidak kuat dan tidak ingat. Mungkin saya tidur.
Kang Ki bilang ia dan beberapa teman justru tidak bisa tidur. Mereka ada melihat banyak mahluk asing. Semakin yakin kalau kami kesasar masuk dunia lain. Dunia yang beda dengan dunia manusia.
Kang Ki berusaha bersikap wajar. Merasa saatnya subuh tiba ia adzan dan solat. Saat ke luar tenda utuk wudhu, Kang Ki bilang melihat seorang hitam tubuhnya besar. Di dekat tenda Kang Nang yang jago berenang malah melihat perempuan berambut panjang. Siapa coba sementara rombongan kami kan perempuannya hanya saya dan Iqo. Hiyyy…
Meski gak melihat apa-apa (karena gak keluar tenda) tapi saya merasakan dunia lain ini. Seperti dibilang Kang Ki, kami semua berusaha fokus berdoa sebisa mungkin berharap saat siang datang kami bisa pulang.
Ya Allah, bukakan jalan untuk kami… Saat berangkat kami mungkin terlalu mincrak, terlalu banyak bercanda sehingga tanpa kami sadari mengganggu yang lain. Atau saat kami mengambil hasil hutan mungkin ada yang tidak suka. Kami sadar kekeliruan uni dan semoga dimaafkan.
Saat langit mulai terang kami kembali segera berkemas dan berdoa lebih dulu sebelum melangkahkan kaki. Alhamdulillah seperti dikasih petunjuk saja, jalan itu terlihat tidak jauh dari tempat kami bermalam.
Jurang yang menakutkan kemarin tidak ada entah kemana. Setelah berjalan dan terus berjalan tanpa istirahat dan makan (makan minum sebisanya sambil jalan) karena ingin segera keluar dari hutan akhirnya sekitar jam dua siang kami sampai di leuweung perbatasan. Kami baru bisa istirahat ketika menjumpai tajug tempat petani solat dan istirahat.
Sore harinya kami baru sampai di kampung dan bersyukur meski diberi pelajaran yang cukup menakutkan dan menegangkan tapi kami semua sehat selamat.
Duh jadi muringkak bulu punduk ( merinding disco ) baca ceritanya teteh…. memang saya dengar kalo dileuweung geuleudeugan ( rimba belantara / hutan perawan ) masih banyak orang yang kasarung, atau bahasa sepuhnya ( kayak puter giling ) ketempat tadi terus berulang-ulang, untung masih bisa balik dengan selamat yaa teteh… syukurlah… intinya kenapa tuh ? apakah karena mincrak tea, atau karena ngambil sesuatu yang tidak disukai oleh penduduk alam lain ?
Sepertinya dua-duanya, Kang. Maklum barudak keneh, mipit tara amit ngala tara menta heula. Jadi we kitu…