Jadi Ibu Bahagia dengan Metode Parenting Denmark
Tiga hari lagi deadline lomba foto dan kreativitas anak. Stress rasanya sudah segala macam trik dan jurus saya lakukan namun Fahmi, putra saya sama sekali tidak ada tanda-tanda mau ikut jadi peserta.
“Enggak mau. Ami malu…” selalu demikian alasannya seraya menyembunyikan wajah dibalik pelukan saya.
Padahal menurut banyak orang di usianya yang baru menginjak lima tahun ia sudah memiliki banyak hal istimewa dibanding teman sebayanya. Sebut saja mengaji Iqra, hafalan belasan surat dalam juz 30, menulis dan menggambar serta lainnya.
Saya akui Fahmi putra saya memang memiliki sifat pemalu. Ia tidak suka keramaian, tidak betah di tempat yang bising, dan susah untuk bertemu orang baru. Kadang saya suka kesal dengan semua itu.
Masa dengar suara nyanyi bareng di acara ulang tahun teman sebayanya dibilangnya berisik. Diajak mengikuti acara keluarga sama sekali gak mau lepas dari pangkuan. Ada teman sebayanya ke rumah ngajak main bareng, eh malah ngumpet dan baru keluar setelah temannya pamit pulang. Bagaimana mau jadi anak pemberani kalau bersosialisasi saja begitu sulit?
Bayangkan gimana saya tidak kesal?
Tahun lalu rencananya Fahmi mau masuk sekolah. Beberapa teman seusianya sudah riang bercerita. Tapi Fahmi malah mengkerut. Ia nangis jerit-jerit tidak suka berangkat dan tinggal di sekolah. Semakin kami bujuk semakin kuat ia menolak. Hingga rencana masuk sekolah itu pun batal.
Melihat teman seusianya berangkat sekolah, diam-diam saya membandingkan Fahmi dengan anak lain. Takut tertinggal, anak orang sekolah anak sendiri malah gugulingan saja di depan tv. Takut tidak bisa baca tulis sementara temannya sudah pandai. Kekhawatiran saya semakin menjadi, bagaimana kalau Fahmi tidak mau sekolah?
“Coba kita ajak belajar di rumah,” saran ayahnya Fahmi.
Saya pun mencari informasi bagaimana cara mendidik anak terkait kegiatan belajar dan mengajar. Berbagai metode homeschooling saya coba dan berkomunikasi intens dengan praktisi homeschooling-nya. Termasuk membaca kisah parenting di blog catatansiemak serta buku-buku penunjang lainnya.
Ternyata Fahmi cepat tanggap dalam aktivitas rumahannya. Ia serius belajar sesuai yang saya arahkan. Tangannya lentur dalam menulis dan menggambar. Ia benar-benar menikmati kesendiriannya.
Tidak hanya itu, Fahmi pun tampak berubah sikap dan ucapannya. Membuat saya dan ayahnya heran. Dalam sepi Fahmi justru bisa berprestasi.
Sejak itu saya yang instropeksi diri. Betapa egoisnya saya memaksakan kehendak terhadap anak. Padahal setiap anak pasti istimewa. Anak punya jalan dan caranya masing-masing. Sebagai orang tua saya tinggal mengarahkan saja.
Anak yang berprestasi tidak harus melalui ikut lomba. Pencapaian anak sudah bisa makan sendiri saja itu sebuah prestasi luar biasa. Karena kemampuan anak satu dengan lainnya jelas beda.
Fahmi tidak suka diajak ke mall. Tapi ia bahagia kalau kami ajak naik gunung. Jika bagi anak lain naik gunung adalah aktivitas yang melelahkan, maka tidak bagi Fahmi karena di keheningan gunung ia justru menemukan kenyamanan dan kebahagiaan.
Prestasi anak tidak harus pandai nyanyi, nari atau perform lainnya. Karena kemampuan satu anak dengan anak lain tidak akan saling menyerupai.
Sebagai orang tua seharusnya saya mengerti bahwa satu anak dengan anak lainnya jelas berbeda dan punya kelebihan serta kekurangan masing-masing. Tak usah membedakan antara anak pemberani dan anak pemalu. Karena semua anak istimewa.
Saya yakin Fahmi putra saya bisa seperti anak pada umumnya bila sudah terbiasa. Yang harus saya lakukan adalah tidak ada kata lelah untuk terus memberinya stimulasi supaya ia bisa tumbuh dan berkembang sewajarnya.
Ketika Fahmi menolak sekolah, dan nyaman di rumah maka saya perbanyak buku untuk dipelajari bersamanya. Sedikit demi sedikit saya mengajaknya belajar membaca.
Menanamkan karakter baik sejak dini pun jadi prioritas kami di rumah. Melihat anak-anak yang mengaji di rumah, lingkungan itu membuat Fahmi mulai mengerti, memahami dan terbiasa.
Meski harus didampingi, Fahmi mulai mau bermain bergabung dengan anak-anak sebayanya di kampung. Tidak hanya ikut bermain, tapi juga berinteraksi. Saling bantu, peduli teman dan berbagi.
Banyak sikap serta tindakan Fahmi yang membuat saya salut untuk anak seukuran dia. Mengucapkan terimakasih ketika diberi atau dibantu, menawarkan membantu melakukan pekerjaan, sampai mengasihi binatang.
Meski dalam soal pergaulan Fahmi masih harus butuh waktu lama untuk bisa beradaptasi. Namun kini saya tidak lagi merasa kesal. Yang bisa saya lakukan adalah saya terus belajar untuk tetap mengajak Fahmi mengenal dunia luar. Tetap belajar jadi ibu yang tidak melihat kekurangan anak karena setiap anak punya kelebihan.
Mengetahui ada buku yang mengupas tentang masalah pengasuhan “The Danish Way of Parenting” keluaran Bentang Pustaka saya jadi penasaran bagaimana pola didik terhadap anak dan keluarga yang dilakukan oleh orang Denmark di sana. Yakin akan ada banyak ilmu baru buat saya besar harapan saya bisa segera mendapatkan buku tersebut.
Siapa tahu saya bisa menerapkan metode parenting Denmark sehingga saya bisa jadi ibu yang bisa menyulap kekurangan anak menjadi sebuah kelebihan dan kebahagiaan. Amin.
Hallo abang Fahmi, jadi anak shalih ya.
Aku juga nih mbak banyak pe-er kadang main pukul rata antara anak satu dg yg lain. Kadang males ngulik2 kelebihan anak
Saya belum bisa kontrol emosi diri Mak. Padahal kebahagiaan dari hati ya?
Gimana mau bahagia kalau hati selalu kotor dengan amarah…
Ini PR terbesar saya dalam posisi saya sebagai ibu rumah tangga
Fahmi persis saya saat kecil dulu, Teh. Saya ingat dulu, saat diantar ke sekolah (di awal masa sekolah), eh, saya justru duluan tiba di rumah dibanding ibu saya, dan beliau kaget lihat saya sudah di rumah padahal tadi diantar ke sekolah dan ditinggal duduk manis di kelas. Haha. Kejadian ini berulang hingga semingguan, setiap pagi diantar ke sekolah, tp justru sudah berada di rumah kembali dalam sekejap. Haha. Parah banget!
Saya juga pemalu banget, dan lebih parahnya, cengeng sekali. Tapi kemudian, saya berproses, menjadi anak yang periang dan punya banyak teman. Ayah dan ibu, tak pernah memaksa, tapi membimbing perlahan hingga saya menemukan kenyamanan sendiri pada akhirnya.
Cara Teh Okti dan papanya Fahmi sudah benar, bhw setiap anak memiliki cara dan kenyamanan tersendiri. Tinggal kita melihat dan membimbing dan menyiasati agar bisa menjadi lebih positif. 🙂
Introvert atau extrovert, hanya sifat, yang bisa dioptimalkan dan berprospek positif. 🙂
Salam sayang untuk Fahmi.
Halo, Fahmi, nanti kapan2 naik gunung bareng yuk! 🙂
Emang secara gak sadar jadi ngebandingin ya mba, takut anak sendiri tertinggal. Padahal tiap anak pasti punya kelebihan sendiri.
Fahmi dan Maxy haha sama2 menolak sekolah. Sementara kanan kiri udah ngomong macem2 kyk kasian anaknya gak sekolah dll… duh… insyaAllah yg penting kita yg bimbing, kalaupun udah siap ya sekolah nanti ya ayo sekolah, kalau enggak kyknya saya kudu cari bantuan haha. Tapi untungnya di ibukota, HS itu bukan sesuatu yg aneh lg sih…
Memang membuat anak mandiri dan lebih berani bukan hal yang mudah. Terlebih untuk anak yang cenderung pemalu dan tertutup. Terima kasih atas ilmu dan sarannya.
Yuk main ke website kami di http://funtasplay.com/. Banyak info parenting dan activities book untuk si kecil yang bisa didownload gratis lho! Jangan lupa mampir ya…
Mungkin memang baiknya Fahmi dibiarkan home schooling dulu aja ya, Teh. Sambil pelan-pelan diajarkan bersosialisasi.
Jadi penasaran untuk tau lebih banyak dengan metode parenting ini
Aku kira mba udah review or mempraktekkan danish parenting nya, aku juga penasaran nih sama isi bukunya.. tapi gpp pemalu yang penting dek fahmi sehat walafiat ^^
Memang sebagai orang tua kita yang harus lebih paham ya, mbak sama karakter anak dan berusaha tidak membandingkan anak sendiri dengan anak lain