Kampung Adat Cireundeu: Do and Dont di Leuweung Larangan Puncak Salam

Kampung Adat Cireundeu: Do and Dont di Leuweung Larangan Puncak Salam

Masih tentang kisah perjalanan kami #keluargapetualang ke Kampung Adat Cireundeu, bagian pertama: tentang tradisi unik makan pantang nasi, kali ini cerita perjalanan kami kemping di Puncak Salam, salah satu leuweung (hutan) larangan (terlarang) yang dikeramatkan.

Sudah saya senggol di tulisan pertama kalau tulisan bagian 2 ini akan bercerita mengenai keseruan, mitos dan kisah spiritual perjalanan kemping di Puncak Salam. Mungkin ada yang penasaran kenapa naik ke Puncak Salam harus nyeker alias tidak pakai alas kaki? Kenapa tidak boleh pakai baju warna merah? Dan cerita warga kalau ada firasat apa gitu saat mendaki lalu “bertemu” hewan khas setempat, apa akibatnya?

Nah semua itu ulasan lengkapnya ada di tulisan bagian ke 2 ini. Yuk kuy ah mulai saja lanjut bacanya biar gak penasaran lagi…

Di Puncak Salam ini ada banyak pantangan dan kisah religius.

Puncak Salam adalah dataran tinggi yang posisinya berada di belakang Kampung Adat Cireundeu (KAC). Tingginya sekitar 900 mdpl. Lama perjalanan dari KAC ke Puncak kurang lebih 30-60 menit. Tergantung bagaimana kita jalan dan banyak tidaknya istirahat.

Hutan di Cireundeu terbagi dalam tiga bagian

1. Hutan baladahan
Yaitu hutan yang dipakai bercocok tanam oleh masyarakat.
2. Hutan tutupan
Yaitu hutan yang kelestariannya dijaga. Boleh ditebang tetapi harus ditanami kembali
3. Hutan larangan
Yaitu hutan yang dikeramatkan. Tempat melakukan upacara adat atau ritual

Wajib lepas alas kaki

Namanya hutan larangan, tentu saja ada aturan atau adat yang harus kita taati. Kang Jajat dan Kang Tri menjelaskan kalau mau ikut ke Puncak Salam, semua alas kaki harus dilepas. Jadi pengunjung treking ke puncak dengan telanjang kaki alias nyeker. Tua muda, anak atau dewasa semua alas kaki harus dilepas. Semua barang yang tidak boleh dipakai ke atas bisa dititip di KAC yang pastinya terjamin keamanannya.

Alasannya kenapa harus lepas alas kaki? Pasti ada yang tanya gitu. Maklum anak milenial jaman now kan suka kritis. Langsung nyela kalau ada yang tidak dimengerti.

Jawabannya, ini erat kaitannya sama kepercayaan masyarakat KAC yang meyakini kalau dalam kehidupan ini, ada Gusti anu Ngasih (Tuhan yang memberi), ada Alam nu ngasah (Alam yang mendidik), dan ada Manusa nu ngasuh ( manusia yang menjaga).

Semua melepas alas kaki sebelum mendaki

Dari kepercayaan itu masyarakat KAC mengambil kesimpulan bahwa Tuhan telah memberikan karunia berupa alam dan kekayaannya. Tidak ada jarak antara manusia dengan alam dan Pencipta. Itu yang menjadi alasan masyarakat KAC tidak membolehkan pengunjung menggunakan alas kaki khususunya ketika memasuki wilayah alam yang oleh mereka dikeramatkan (Gunung Salam) supaya manusia alam dan Sang Pencipta tidak ada jarak (tidak terhalang sendal atau sepatu dan alas kaki lainnya).

Dengan melepas alas kaki, selain untuk terapi dan kesehatan juga sebagai alat pendeteksi terhadap niat baik atau buruk manusia yang secara langsung bisa dirasakan oleh alam.

Hindari menggunakan pakaian dominan warna merah

Apa penyebab nya? Kembali kepada tradisi dan kepercayaan masyarakat KAC yang menurut mereka unsur alam ini terdiri dari 4 pokok yaitu: angin yang diwakili warna kuning, air yang diwakili warna putih, tanah yang dominan warna hitam serta api yang identik dengan warna merah.

Di perjalanan menuju Puncak Salam, kita akan melewati mata air yang dinamakan Nyimas Ende. Menurut tradisi KAC, mata air atau sirah cai bagi mereka adalah sebuah kabuyutan atau kapamalian yang harus dijaga kesucian dan kesakralannya.

Ketika memasuki wilayah suci itu, diusahakan jiwa dan raga manusia harus dalam keadaan bersih. Sementara kita tahu api yang (berwarna merah) bersifat panas selalu dikaitkan dengan tabiat manusia yang terdiri dari amarah, nafsu, iri dengki dan sifat buruk lainnya. Karenanya hal itu (mengenakan pakaian dominan warna merah) tidak diperkenankan dengan tujuan menghindari hal hal (sifat) yang tidak diinginkan.

Tepuk jidat itu manakala baru nyadar kalau Fahmi bawa baju tiga, satu warna merah dan dua warna orange. Aduh, jadilah warna orange yang dipakai buat naik. Beruntung ada jaket yang warnanya abu-abu.

 

Wanita datang bulan dilarang mendekati sumber mata air

Sebagaimana wanita yang sedang berhalangan dilarang memasuki wilayah mata air Nyimas Ende yang maksudnya menjaga kesucian wilayah itu. Tapi kalau mendaki ke Puncak Salam, tentu saja wanita yang sedang berhalangan masih diperbolehkan.

Kecil kecil semangatnya maksimal kalau naik gunung

Akhirnya kami pun melepas sandal. Saya tadinya khawatir Fahmi akan mogok dan minta digendong. Tapi ternyata tidak. Itu anak malah senang banget jalan telanjang kaki. Apalagi cuaca saat itu cukup bagus. Tanah yang kami pijak cukup empuk. Tidak becek tidak juga keras.

Goes to Puncak Salam

Di perjalanan hampir saja saya menginjak kalajengking hitam seukuran 2 jari orang dewasa. Tidak ada foto bukan hoax, tapi saya tidak sempat foto karena saya sudah ketakutan duluan dan segera menjauh membawa Fahmi.

Di perbatasan antara hutan tutupan dan hutan larangan Kang Tri selaku sesepuh dari KAC yang mendampingi rombongan kami melakukan ritual terlebih dahulu dengan membawakan rajahan serta rapalan doa. Kami semua berkumpul ada yang duduk menyimak ada juga yang asyik mengabadikan momen dengan gadget.

Ngarajah di perbatasan tiba-tiba hujan turun!

Entah alam mendengar doa kami, atau sebaliknya, tiba-tiba hujan turun. Kami membuka peralatan perbekalan masing-masing. Ada yang mengenakan jas hujan, ada yang membuka matras dan dijadikan payung untuk berteduh. Saya sendiri kebetulan membawa payung.

Melanjutkan perjalanan memasuki hutan larangan, hujan masih menyertai kami. Duh nafas hampir saja habis nih manakala merayap di sela sela pohon pinus disertai ketakutan hujan turun lebih besar. Jika tidak hujan mungkin bisa istirahat sebentar.

Saung di kebun pinus

Tapi Alhamdulillah kami semua sampai di saung yang jadi ciri kalau Puncak Salam tempat kami mendirikan tenda tinggal sekitar 50 meter lagi. Di saung itu ada balai-balai dari bambu juga ada tungku perapian. Saung itu dibuat khusus untuk penjaga dari KAC. Hujan masih turun tetapi kami memaksakan diri mendekati lokasi tenda, demi bisa segera melihat pemandangan dari Puncak Salam yang katanya indah.

Benar saja meski sebagian terhalang kabut tetapi kerlap kerlip lampu dari berbagai wilayah di Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan wilayah lain nampak jelas. Sayangnya matahari tenggelam tidak bisa kami saksikan karena terhalang awan pekat yang menggantung.

Api unggun di Puncak Salam

Masuk tenda, hampir bisa dibilang kami tidak keluar lagi karena hujan turun semakin besar. Kalau tidak bawa Fahmi, bisa saja saya memaksakan diri. Tapi demi anak, saya memilih di dalam tenda saja bersama Teteh-teteh dari GenPI Cianjur. Mengisi waktu, Fahmi mengajak mereka main ular tangga, ludo, dan mendongeng.

Keseruan di dalam tenda

Saat itu Kang Dede Diaz yang baru tiba dari Bali dan langsung naik menyusul ke Puncak Salam mengunjungi tenda kami dan kami ngobrol banyak. Meski sering interaksi di sosial media dan blog, namun saat itu pertama kali kami bisa jumpa langsung. Semoga jadi kemping yang barokah, membawa jalinan silaturahmi antar blogger dari berbagai daerah.

Di Puncak Salam, untuk urusan ke kamar kecil, pihak pengurus KAC menyediakan toilet sementara. Tapi karena darurat air, otomatis kami tidak bisa mandi. Bahkan untuk berwudhu pun kami kesulitan. Untung saja saat itu hujan cukup deras. Kami menadah air hujan untuk bersuci.

Pukul delapan malam, meski hujan masih turun semua peserta kemping berkumpul untuk kembali merajah. Lantunan kidung tradisi yang dibawakan Kang Tri diiringi suara kecapi terdengar sangat kontras. Bikin merinding pikiran melayang.

Selesai ngarajah, api unggun dinyalakan dan itu cukup menghangatkan suasana yang terasa dingin mencekam. Terasa nikmat manakala menyantap nasi eh rasi dengan lauk pauk yang sangat tradisional seperti urap daun singkong, sambal, pindang bumbu merah, perkedel dan tahu. Minumnya ada bandrék yang bikin tenggorokan terasa hangat. Camilan lainnya ada kacang rebus dan jagung.

Menu makan malam rasi dan sayur tradisional

Seperti biasa kalau yang lain umumnya kedinginan,  Fahmi mah katanya justru hareudang. Maka meski diherankan oleh yang lain, disaat hujan turun tanpa henti membawa udara dingin saya cuek saja mengipasi Fahmi dengan hihid yang selalu saya bawa kemanapun pergi kalau bareng anak.

Sunrise!

Hujan baru reda sekitar pukul tiga dini hari. Hingga subuh tiba, suara langkah kaki menginjak ranting di luar mulai terdengar. Orang pada ramai berburu sunrise saya tetap ngelonin Fahmi yang tibra kasubuhnakeun. Ayah Fahmi yang lebih dulu keluar untuk subuh dan mengabadikan pemandangan sekitar di pagi itu.

Sunrise yang malu malu

Ada kelakar tersendiri di antara kami saat akan keluar dan masuk tenda yang cukup bikin heboh. “Eh barusan aku ngelindur apa gimana ya, keluar tenda masa nyari-nyari sendal aku mana kok gak ada?” Kontan semua tertawa. Pake tanya sendal, wong semua tidak ada yang pakai sendal kok. Kakakakakak…

Api unggun sisa semalam pagi itu masih menyala. Baranya lebih dari cukup mematangkan jagung yang kami bakar. Sarapan sederhana yang tidak akan terlupakan pokoknya.

Sarapan bakar jagung

Pukul delapan kami semua bersiap turun dari puncak. Kembali ke KAC untuk mengakhiri petualangan kami dua hari satu malam di Cireundeu. Kémping di Puncak Salam yang sudah bikin kami senang secara tahun 2019 ini adalah jadi kemping pertama #keluargapetualang.

Karena hujan semalam, waktu turun jadi tidak seindah yang dibayangkan. Kontur tanah pijakan yang menurun jadi semakin licin karena berair. Banyak diantara kami yang terjatuh dan kotor kena lumpur di sana sini. Tapi keseruan selama perjalanan itu sedikitpun tidak buat kami sedih yang ada tawa bahagia diselingi kerjasama. Ya satu sama lain kami saling menjaga dan membantu. Solid banget. Naik bareng turun pun tetap bersama-sama. Terimakasih untuk Kang Dede dan siapa lupa namanya yang ngasih tongkat bambu ke saya. Sungguh tongkat itu sangat berjasa mengimbangi beban saya hingga saya bisa turun dengan lancar selamat.

Treking pole tradisional yang sangat berjasa. Terimakasih buat yang ngasih maaf lupa namanya siapa hehe

Arti firasat binatang setempat

Istirahat sejenak di Imah Panggung –tempat kami dijamu dan istirahat– diisi dengan ramah tamah antar sesama peserta kemping dan pihak terkait seperti Panitia acara, perwakilan GenPI, dan sesepuh KAC.

Imah Panggung, aulanya KAC

Saat sesi tanya jawab diketahui kalau sebenarnya di Puncak Salam ada hewan khas Puncak Salam yang tetap tinggal di sekitar hutan larangan yaitu elang hitam, meong congkok, musang dan babi hutan.

Melalui hewan-hewan tersebut alam kadang memberi pesan. Seperti kalau ada suara burung elang di hutan larangan, itu tandanya firasat tidak baik. Turun dan tidak melanjutkan acara kemping bisa jadi pilihan. Bukan berarti manusia percaya kepada burung, tetapi naluri burung yang sudah kuat dan peringatan alam biasanya tidak bisa diartikan secara implisit oleh manusia. Jadi saat mendaki kita “bertemu” hewan khas sebaiknya segera “konsultasikan” dengan sesepuh KAC.

Ngariung sebelum berpisah

Meski dibarengi hujan yang hampir tidak ada henti kami masih bersyukur bisa kemping dengan selamat dan penuh kesan. Dua hari satu malam di KAC yang tidak akan kami lupakan.

Berminat untuk mengunjungi KAC? Silakan datang langsung ke Cirendeu atau hubungi salah satu sesepuh KAC berikut:

36 thoughts on “Kampung Adat Cireundeu: Do and Dont di Leuweung Larangan Puncak Salam”

  1. Keren ya, Mbak. Dan karena adanya larangan ini itu, maka kelestarian alamnya terus terjaga. Saya suka larangan tidak menggunakan alas kaki. Bisa juga bermakna, saat melangkah harus hati-hati. termasuk jangan menginjak tanaman.

    Reply
  2. Sebagai urang Bandung Saya malu saya ga tau soal Kampung ini. Alhamdulillah baca di blog2 jadi terinspirasi. Menakjubkan betapa adat istiadat dibuat bukan saja menjadi aturan hidup. Tapi juga untuk menjaga lingkungan

    Reply
  3. Asyik banget Kak Fahmi udah ngerasain kemping di kampung adat, pengalaman yg bakal berkesan dan kebawa sampai gede. Minimal kemping gini anak usia berapa sih Teh ?

    Aku share ah, siapa tau suatu hari berkesempatan kemping di KAC

    Reply
    • Tidak ada batasan usia selama bisa atau kuat naik (jalan atau digendong). Udara tidak terlalu dingin sih kecuali musim hujan

      Reply
  4. Asyik banget perjalananya mbak, menghirup udara bersih bebas polusi disana, aku udah lama gak nanjak, kok liat ini jadi envy yah. hehhe

    Reply
  5. Saya suka sekali baca kisah petualangan ini..Jadi tahu alasan mengapa masyarakat di Kampung Adat Cireundeu melarang ini itu dan punya aturan tertentu. Dan bagaimanapun sebagai tamu kita mesti menghargai dan menghormatinya.
    Salut untuk acara kempingnya yang seru dan keluarga Mbak Okti yang mengikuti.
    Keren ini!

    Reply
  6. Sering datang ke tempat-tempat wisata alam yan ada larangannya kayak gini. Biasanya ada yang suak iseng dihubung-hubungkan dengan mitos. Lha padahal nggak selalu juga kan. Misalnya kayak Cireundeu ini. Tujuannya justru pelestarian alam. Cakep tempatnya

    Reply
  7. Trekking ke gunung selalu ada semacam aturan tak tertulis yang harus ditaati. Saya sih baru naik gunung di Jawa Tengah, seperti Merapi, Sindoro, Merbabu, Ungaran, dan Gunung Slamet. Semua tempat yang masih asli ini memiliki aturan masing-masing. Menjaga alam seperti di Hutan larangan ini yang membuat alam di sana tetap terjaga kelestariannya ya mbak

    Reply
  8. Waduh engga kebayang, kalo kalajengkingnya terinjak beneran. Huf…lap peluh. Aku baru nyadar lho, ternyata lepas sandalnya semaleman. Bagus juga ya larangannya…Supaya alam terjaga kelestariannya…

    Reply
  9. Aihh uyuhan Teteh, nyeker dugi ka puncak. Abdi mah teu acan tangtu kersa ari kedah nyeker teh. Tapina resep nya pasti, tiis ceuli herang panon. Aa Fahmi kiatan, di gunung teu dijaket. Hade.

    Reply
  10. Huaaa…asik banget berpetualang kaya gini, dulu masih jaman sekolah seneng banget asruk2kan kaya gini haha. Mendaki gunung, lewat jalan setapak, jalan di pesawahan, nyebrang sungai beuh pokoknya mengesankan, tuh kan jadi pengen lagi kan. Fahmi hebat ya kuat jalan kaki, keren lah.

    Reply
  11. Wah seru banget ya teh… Awalnya mikir kok banyak aturan banget dan aneh2 juga aturan ya. Tapi setelah dipikir, ternyata punya makna dan filosofis yang cukup dalam juga ya.

    Reply
  12. Tertarik sih kak datang ke Puncak Gunung Salam. Tapi sepertinya agak ribet ya dengan pantangannya. Mungkin nanti kalau benar2 kondusif dan preparasi ya udah pas

    Reply
  13. Aku membacanya semua pantangan dan larangan itu adalah kearifan lokal yang sengaja diterapkan nenek moyang kampung Cireundeu demi menjaga kelestarian alam hingga akhir nanti. Seandainya tidak ada larangan atau pantangan seperti ini maka akan sangat mudah alam kampung ini dirusak.

    Reply
  14. Seneng banget ya bisa ikut pendakian ini, apalagi aturan yang sangat ketat itu dipatuhi oleh semua yang mendaki sehingga alam masih terjaga. Itu cantik banget suasana di malam hari, melihat lampu kerlap-kerlip sari atas

    Reply
  15. Waw tracking menantang banget ya mba. Wah makin jadi petualangan nih Fahmi, hehe. Btw soal adat memang kadang sbg bentuk penghormatan kita harus lakukan ya mba. Mski ttp keyakinan agama yg utama hehe

    Reply
  16. Wahh ada beberapa larangan ya. Sebagai pengunjung kita memang harus menghargai dan menghormati adat setempat. Tapi semua terbayar sama pemandangan nya yg cantik ya

    Reply
  17. lumayan banyak pantanganya yah mbak, namun ya itu memang harus kita jalanin, soalnya suka ada aja yg terjadi kalau kita melanggar, duh sejuk banget suasananya

    Reply
  18. Serunya… mau juga suatu hari nanti bisa main ke Kampung Adat Cireundeu ini. Kapan-kapan kalau Teh Okti ada trip ke sini lagi, colek-colek dong, siapa tahu aku bisa gabung gitu.

    Reply
  19. Wah petualangan seru banget ini. Kemping ke puncah bawa anak pula. Keren deh kak. Aku belum pernah yang bener-bener tracking medan gitu jadi yang terbayang keribetannya. Bakalan jadi pengalaman seru dan cerita berharga banget ya

    Reply

Leave a Reply to Monica Anggen Cancel reply

Verified by ExactMetrics