Keluhan Pengajar Kekinian
Habis isya kami baru bisa istirahat. Setelah seharian sibuk melakukan tugas wajib sepulang bepergian (baca: nyuci pakaian kotor yang bergunung-gunung) dan merehatkan badan setelah hampir seminggu lamanya ngetrip terus meninggalkan capek yang membuat tulang belulang remuk redam.
“Kembali ke alam nyata deh,” ucap suami, setengah mengeluh.
Aku meringis, ikut merasakan. Suami bilang begitu itu artinya dia membayangkan bagaimana repotnya ia akan menghadapi kenyataan yang sebenarnya di dunia sekolah, tempat ia bekerja, setelah seminggu ini izin cuti untuk liburan.
“Kurang-kurangnya bisa menghadapi, anak sekarang memang bikin guru cepat darah tinggi.” Lanjut suami.
Aku mengangguk. Membenarkan. Beberapa minggu lalu di timeline media sosial pernah baca tentang persoalan dunia sekolah dan pendidikan. Ditambah status-status seorang guru sekaligus blogger asal Sragen, Pak Johan Wahyudi yang juga mengangkat soal itu.
KETIKA GURU DAN ORTU TERANCAM DIPENJARA. MENDIDIK TANPA KEKERASAN, BISA?
Sempat jadi topik berita utama, dunia pendidikan dikejutkan oleh beragam tindak kekerasan yang terjadi di dalamnya. Ada guru dan orang tua menyandang status tersangka, bahkan terpidana akibat vonis hakim karena terbukti bersalah melakukan tindak kekerasan terhadap anak.
Tahun 2014-2016 jadi catatan kelam dunia pendidikan. Tahun dimana banyak guru dilaporkan melakukan tindak kekerasan kepada anak-anak, menyandang status tersangka, bahkan jadi terpidana. Zaman seperti sudah terbalik. Jika mendidik anak dikit-dikit dilaporkan, lalu bagaimana cara mendidik anak yang benar?
Akibatnya, kini guru dan orang tua cenderung membiarkan anak-anak bertindak nakal karena ketakutan dilaporkan oleh anak atau orang tuanya. Kondisi ini tentu sangat berbahaya dan tak boleh dibiarkan. Kenakalan anak semakin merajalela. Narkoba, tawuran, contohnya.
Sementara zaman kita dulu jangankan disetrap atau disuruh push-up, dihukum sampai disuruh berjemur seharian pun tidak ada pengaduan. Bahkan murid justru semakin menghormati dan takut kepada guru. Menyadari sepenuhnya jika guru atau orang tua berbuat demikian itu disebabkan karena kesalahan.
Di dunia pesantren saja, hukuman direndam air kolam yang dinginnya tidak ketulungan atau kepala dicukur plontos habis tidak rapi itu sudah tradisi bagi santri yang sudah melanggar aturan pondok.
Kini lain zaman lain lagi tuntutannya. Sebagai orang tua sekaligus guru mengajar yang bertugas mendidik anak usia ABG (guru SMP) suamiku lah salah satu yang kena getahnya. Dikerasin anak makin nakal, dan takut kena pelaporan pihak yang tidak terima. Sementara dibiarkan anak semakin ngelunjak dan lagi lagi disalahkan dibilang tidak bisa mengajari murid etika dan ahlak. Lalu harus bagaimana coba?
“Sepertinya harus beli buku Pak Johan,” celetuk suami setelah beberapa menit terdiam.
“Ya beli saja. Siapa tahu dapat ilmu baru bagaimana cara menghadapi anak zaman now,” dukungku.
Apa saja yang bisa kita lakukan, selaku guru atau orangtua pastinya akan ditebak supaya anak terhindar dari hal yang tidak diinginkan, bukan?
Pak Johan Wahyudi memang telah menerbitkan buku barunya berjudul Mengatasi Kenakalan Anak Tanpa Melanggar Undang-Undang bertepatan dengan hari guru, 25 November lalu. Bahkan beliau sudah menggelar seminar nasional dan bedah buku di beberapa tempat.
Sebagai tambahan ilmu dan cara mendidik murid, sepertinya memiliki buku itu cocok juga buat suami. Setidaknya aku juga bisa ikut menyerap ilmunya.
Paling tidak buku nya memang cocok buat mengedukasi guru dan orang tua agar memahami jenis kekerasan sekaligus cara mendidik yang humanis.
Setidaknya kalau sudah punya kailnya (ilmu dari buku) maka ikan apapun (kenakalan anak, masalah dlsb) bisa dipancing (diselesaikan). Meski belum bisa memberikan sumbangsih yang real, tapi paling tidak sudah ada upaya ke sana.
Mungkin aku belum bisa berbuat banyak. Tapi dengan mendukung suami membeli buku karya Pak Johan Wahyudi sekaligus sudah membekali diri ikut meminimalkan hal negatif yang bisa menimpa anak-anak kita kapan saja dan dimana saja.
Salut teh. Tidak banyak dari kita yang terbiasa ‘mencari ilmunya’ ketika dihadapi sebuah masalah. Terlebih seorang guru mengenai masalah tersebut. Kebanyakan cenderung menjustifikasi atau berspekulasi. Padahal tantangan tersebut nyata ya. Inget sama statement Sayidina Ali RA. “Didik anakmu pada masanya, bukan pada masa mu.”
Salam kenal teh. Abdi kantos ngalaman digerudug salembur kumargi nampiling murangkalih jawara, hehe… Alhamdulillah, setelah kejadian itu puasa nampar selama lebih 7 tahun hehe
Salam kenal kembali Kang, eh Mang 🙂
wah pengalamannya seru ya
Jadi guru itu gampang2 susah ternyata
Pendidikan masa kini memang serba salah, Teh. Serba mudah, malah tuntutan makin banyak. Saya sendiri tak sepakat dengan kekerasan, meski saya percayakan anak penuh kepada guru saat sekolah. Hukuman apapun selama gurunya punya alasan jelas dan tidak meninggalkan bekas berlebih pada anak, tak terlalu ambil pusing. Saya sendiri pernah dihajar guru pas sekolah dulu, hehehe… Saya kira, antara ortu dan guru perlu sinergi yg cukup baik, agar bisa saling memahami. Eh, panjang amat yak. Salam ☺