Kembali ke Alam atau Dangdutan?

Saya amati aktivitas camping alias berkemah sekarang menjadi trend wisata yang bukan hanya milik anak berseragam Pramuka, anak  Pecinta Alam atau anak muda pada umumnya. Karena kakek nenek pun banyak yang tidak mau ketinggalan.

Sampai anak saya berseloroh, “Kakek nenek bukannya diam di rumah saja ya?”

“Hust! Gak boleh gitu. Semua orang dan siapa saja boleh kok ikutan apa saja. Asal tidak merugikan satu sama lain.” Bisik saya memberikan pemahaman.

Memang saat itu kami melihat ada satu rombongan keluarga yang sedang membuat mini api unggun. Salut dengan sang kakek dan nenek yang masih kuat tidur di tenda, bercengkerama ditengah dinginnya malam dengan anak dan cucu-cucunya.

Kebahagiaan memang sulit diukur oleh seberapa banyak kekayaan. Meski saat camping identik dengan kondisi hidup serba terbatas, namun banyak saja yang melakukan itu.

Tapi untuk kakek nenek dan keluarganya itu tentu saja ada pengecualian. Melihat fasilitas yang cukup lengkap mereka boyong ke tempat camping, sudah menjelaskan bagaimana wah nya kondisi mereka. Jauh beda dengan para camper pada umumnya yang justru terlihat kere dan kumal.

Maksudnya saya dan keluarga ini contohnya. Kami akui camping yang kami lakukan bukan camping ceria. Jauh lah meski nyatanya kami lebih dari ceria, tertawa terbahak sampai perut rasanya sakit melilit saking tak hentinya tertawa. Ya, saking selalu bergurau, dan bercanda. Acara kami ini lebih tepatnya camping apa adanya. Saking sederhana dan minim fasilitas.

Jelas beda dengan mereka. Ada yang sengaja datang dengan kendaraan yang dimodifikasi untuk kegiatan campignnya, campervan.

Ide modifikasi kendaraan untuk aktivitas camping yang sudah masuk di GAIKINDO Indonesia International Auto Show (GIIAS) tahun lalu, disana banyak booth menarik salah satunya dari Camper Van Indonesia.

Contoh berbagai modifikasi mobil yang biasa digunakan untuk kegiatan camping maupun perjalanan jarak jauh bisa dengan mudah kita temukan di sana. Meski kami tidak mampu beli, tapi suka saja karena secara tidak langsung dengan melihat saja, kita juga sudah diberikan edukasi soal campervan dan motorhome yang belakangan ini cukup tren. Cocok dengan kegiatan tamasya kekinian, karena itu juga mungkin ya kendaraan ini sedang marak-maraknya.

Maka dari itu mobil dengan konsep yang berbeda ini memberikan edukasi baru agar masyarakat lebih mengenal apa itu campervan atau motorhome.

Anak saya mengagumi motorhome yang memiliki peralatan di kabinnya terbilang lengkap mulai dari dapur, tempat tidur, kamar mandi, dan sebagainya. Mobil ini didesain untuk perjalanan jauh dalam waktu berbulan-bulan layaknya rumah berjalan.

Bagaimana tidak kagum, berbanding terbalik dengan fasilitas motorhome mereka, yang kalau saat camping dapur kami cukup tungku dibuat dari batu dengan bahan bakar seadanya nyari ranting dan dedaunan kering. Tempat tidur hanya tenda kap 3 beralas matras yang kalau bangun meninggalkan rasa pegal dan sakit pinggang.

Kamar mandi? Paling banter kalau ketemu sungai. Haha, toiletnya cukup menggali tanah dan menguburnya kembali. Begitulah kehidupan di alam. Jauh beda dengan fasilitas yang ditawarkan motorhome.

Jika pada motorhome tampak gagah dengan atap yang sudah ditinggikan serta pemasangan tenda awning yang asyik untuk duduk-duduk sembari bersantai, maka kami cukup gogoleran di rerumputan beratapkan langit bertabur bintang. Itu kalu cuaca bagus. Cuaca buruk, melipir ke warung kopi si mamang tukang dagang saja. Haha…

Intinya walau mereka sebatas camping di area camping “manja”, tetapi trend ini memang semakin banyak diminati oleh banyak kalangan dan usia.

Namun sayang, tidak sedikit saat camping mereka seolah memiliki area itu secara pribadi. Kami yang sejatinya bisa menikmati kenyamanan hidup di alam dengan suasana alami, sering terganggu suara musik, bahkan yang berasal dari sound system acara rombongan.

Sedihnya yang datang secara pribadi pun tak sedikit yang ikut pamer suara dari sound system mobilnya atau bahkan yang sengaja membawa seperangkat sound system ke tendanya. Gusti … Anak saya sampai langsung ngajak pulang saking berisik bikin dia jadi tidak betah.

Saya dan suami sering ajak anak camping atau kegiatan di alam karena ia tipe anak yang suka keheningan. Anak kami bisa menemukan kebahagiaan dan dunianya jika berada di gunung, sungai, kebun, dan pantai selama suasana damai dan tidak berisik.

Sejak kecil, Alhamdulillah anak kami tidak memiliki riwayat sakit serius kecuali batuk pilek dan demam yang bisa diredakan dengan obat tradisional atau obat dari apotek terdekat. Bisa dibilang anak kami belum pernah dibawa atau periksa ke dokter anak karena selain di kampung kami sampai sekarang belum ada praktik dokter anak, juga memang sakitnya anak saya sakit biasa saja.

Ada yang bilang, terbiasa sejak kecil banyak hidup di alam secara tidak langsung bisa menguatkan daya tahan dan kekebalan tubuh anak. Saya sendiri gak tahu pasti. Tapi saya pikir daripada anak di rumah saja kecanduan gadget, bisa-bisa TEXT CLAW: akibat dari penggunaan gawai yang berlebihan, kan lebih baik melakukan kegiatan positif. Seperti mendaki dan camping ini.

Tapi anak saya mulai merasakan tidak betah manakala sedang camping mendapat tetangga tenda yang berisik dengan suara musik. Mungkin sudah saatnya, pengelola camping ground memikirkan hal itu. Karena bagi  Tukang Ngaprak (kelayapan), atau para peminat sejati hobby berpetualang hidup di alam, mereka datang itu untuk menikmati alam yang benar-benar alami. Keheningan dan kenyamanan bahkan tak jarang dijadikan sebagai media kontempelasi diri di tengah guru tertua manusia, ialah alam yang benar-benar masih alami.

Nikmatnya mendengar suara gemericik air, kicau burung berebut makanan, desir angin yang menerpa dedaunan, suara serangga malam, suara khas burung hantu, semua itu tak bisa tergantikan oleh suara musik dangdutan.

Para tamu ingin camping sambil mendengarkan musik? Ya sah-sah saja sih. Tapi ya harus punya toleransi juga dong terhadap tamu lainnya. Setidaknya bisa membatasi suaranya dan kapan waktunya.

Ketika seorang tamu menyewa semalam sepetak lahan untuk tendanya atau  mobilnya, mereka punya hak privasi atas suasana dan tujuan mereka datang yang sejatinya untuk menikmati kegiatan dan suasana alam.

Entahlah…

53 thoughts on “Kembali ke Alam atau Dangdutan?”

  1. Wahhh kebangetan siik kalo ada yg sampai nyetel musik kenceng² di lokasi camping

    Kan kita udah jenuh yaaa denger musik² berisik d TV, di mall, di kafe.

    Klo mau adem ayem memang yg bener ke lokasi camping, duh petugas camping kudu bikin rules yg tegas nihhhh

    Reply
  2. Ada nggak sih persewaan mobil camp kayak gitu, berasa praktis dan seru kalau bawa banyak orang, tapi ya balik lagi sih gimana etika kita ketika camp dengan orang lain, pasti tujuannya untuk healing bukannya malah dangdutan, kasihan juga burung atau hewan lain yg ketakutan karena polusi suara

    Reply
  3. Aku kalo liat campervan gitu sering di akunnya tinnyhouse teh, tapi di luar negeri sana. Mobilnya bener-bener didesain seperti rumah berjalan. Jadi, kemanapun pergi, kebutuhan perjalanan mereka ada di situ, dengan fasilitas layaknya hotel. Dari kamar dengan bed empuk dan bersih, kamar mandi dan toilet estetik, bahkan pakai shower air hangat. Ada mesin listrik sendiri. Sampe mupeng banget liatnya. Soalnya punya cita-cita kalau nanti suami pensiun, mau keliling Indonesia, salah satunya pakai campervan gitu.

    Aku pun gak suka kalau lagi berada di keheningan alam gitu ada yang nyetel musik kenceng-kenceng. Nyanyi berisik. Dan cekakakan ga mikirin orang lain. Ga tau adab 😀

    btw, pada bagian “Tempat tidur hanya tenda kap 3 beralas matras yang kalau bangun meninggal pegal dan sakit pinggang.” kok ada kata meninggal teh?

    Reply
  4. Daku terakhir camping waktu SMP hehe.
    Salut untuk kakek dan neneknya Fahmi yang bersemangat we time bareng keluarga dengan camping

    Reply
  5. Mungkin kalau mau mendengarkan musik bisa menggunakan headphone atau earphone, kalau pun mau pakai speaker bisa dengna volume yang wajar. Sehingga tidak mengganggu yang lainnya juga. Karena namanya ke alam itu sepertinya lebih enak mendengarkan musiknya alam deh. Musik yang ditimbulkan dari kicauan burung, air mengalir dan lainnya.

    Reply
  6. Hal ini sering di bawah di komunitas camping ceria, banyak yang melakukan ini dangdutan sampai malam kadang semalaman sampai subuh.

    Duhh tolerasinya sudah memudar ya masyarakat Indonesia meski yg di tegur anak plgnya ngadu ke kita, kitanya yang nyolot tidak terina

    Reply
  7. Camping bawa sound system untuk nyetel musik kenapa harus jauh-jauh.
    Mana toleransi agak kurang dan membuat tidak nyaman yang lain, khususnya anak-anak.
    Camping kan tujuannya mendengar musik alam yang sudah lama tidak terdengar karena kesibukan harian.

    Reply
  8. keren ya?

    saya dulu juga punya mimpi punya caravan seperti ini

    karena dulu pernah kerja di perusahaan karoseri dan anak pemilik perusahaan punya kendaraan yang dimodifikasi kaya di atas, tapi kalo gak salah produk BMW bukan VW

    hehehe…lupa, udah lama banget sih. Lagian kayanya gak terjangkau 😀

    Reply
  9. Wah musik keras2 di alam benar-benar nggak cocok sih menurut aku. Baiknya yg keras2 itu di tengah kota aja. Kalau lagi camping, lebih baik hening, kalaupun dengerin musik, mening pakai earpod sendiri.

    Reply
  10. Wah, jadi ingat salahsatu selebgram yang juga camping saat hamil tua tapi bersama keluarganya pakai campervan mbak. Kelihatannya seru juga ya klo fasilitas lengkap gitu
    Tapi klo sampe saat camping menggangu kenyamanan tamu lain juga tidak mengenakkan juga sih, apalagi klo tamu lain tsb ingin menemukan ketenangan saat camping

    Reply
  11. Ya klo mau dandutan di kamar rumah aja jgn camping etapi mungkin mau dandutan di alam kitu konsepnya ya
    Tapi kan yg lain jadi terganggu euy.
    Keren pengin punya buat camping, aku suka camping teh dari zaman skola kerjaannya camping aja tapi kuliah nggak terlalu. Apalagi sekarang, anak masi kecil, kangeeen berat

    Reply
  12. saya juga gemes banget kalo dengar orang nyetel musik dengan suara keras. entah apa yang ada dalam pikiran mereka, tidakkah mereka berpikir bahwa itu mengganggu kenyamanan pihak lain?

    Reply
  13. waaah ketemu keluarga Kusmajadi. Mereka itu yaa berani keluar zona nyaman. Tinggal lama di Malaysia, jebol tabungan untuk keliling Indonesia. Salut waktu dengar cerita mereka.

    eh ya Teh, ini kami mau camping. Pertama kali nih. Yang gampang-gampang aja, belum sampe masuk hutan yang gimana gitu. Mohon doanya supaya selamat bahagia dan bisa camping lagi 🙂

    Reply
  14. Jadi ingat buku zaman aku kecil dulu, setipe 5 sekawan atau buku-buku Enid Blyton yang lain. Rasanya selalu ada kisah menginap dengan mobil camping yang nyaman. Mendengar alam memang yang terbaik sih.. Kalau pakai sound, kayanya salah tempat banget. Mendingan di depan mall, jadi mobil radio, kalau di Bandung.

    Seru banget yaa, teh..
    Menikmati suasana alam yang syahdu..

    Reply
  15. Jadi akhir-akhir ini aku sering nonton di youtube channel tentang solo camp gitu, dan kepengen nyoba juga, bedanya ngajak suami kalau aku hehe. Pastinya kalau mau dangdutan ya pelan-pelan saja hihi.

    Reply
  16. Campervan gini, emang kayanya paling enak kalau dilakukan di suasana yg sepi ya. Karena kesannya tuh emang homey tp yg tujuannya menjalin keakraban. Jd emang bakalan rame, drpd yg kaya glamping yg lebih jaga privacy

    Reply
  17. Aku pengen kembali ke alam mbaaa buat melepas stres, yang damai gitu. Ini kok menarik banget kalau campingnya ditemenin fasilitas motorhome, bakal betah berbulan-bulan camping ehehe

    Reply
  18. Memang menjengkelkaaaan kalau pas kemping ada yang gonjrang-gonjreng dangdutan atau metal, atau sejenis. Huh, aku jadi gemes, Teh. Aku kalo kemping sukanya yang tenang. Kalau ada musik secukupnya aja dari gitar biasa.

    Reply
  19. Jadi ikut mikir deh aku. Camping di alam kan lebih enak dengan musik alam ya. Kicau burung, suara jengkrik, lha klo bawa musik terus dikencengin apa ada bedanya dengan kita berada di kontrakan yang tetangganya nyetel karaokean keras-keras? Duh kebayang gak enaknya Teh.

    Reply
  20. Sekarang camping jadi sebuah tren wisata juga kelihatannya ya Teh. Kalau dulu yang melakukan kebanyakan adalah generasi muda atau yang usianya masih tahan berada di alam yang terkadang cuaca suka berubah-ubah, nah sekarang kakek dan nenek pun bisa ikut kemping. Konsep glamping juga sudah menjamur. Camping mewah yang datang dari Korea ini, di Instagram iklannya bertebaran. Menurutku sesuatu yang baik bahwa orang cenderung lebih suka kembali ke alam. Sayangnya mengapa harus mengotori tempat camping dengan suara berisik seperti dangdutan ya Teh

    Reply
  21. Camping ala campervan ini mulai rame sejak pandemi. Aku dan suami sempat pengen restorasi mobil keluarga, tapi dipikir-pikir kok ntar susah kalo digunakan untuk pergi rombongan keluarga. Karena kami sering dimintai tolong atau numpang mobil kalo ada acara keluarga.

    Nggak usah anaknya Teh Okti, aku dan anak-anak pun ilfill kalo saat camping ketemu tetangga berdekatan nyalain musik sampai kenceng. Kita ke alam tuh nikmatin suara alam, eh ini tercemar dengan sound musik dari mobil atau lainnya

    Reply
    • Sama..
      Emang minusnya camping kalau ada banyaaakk bgt orang, ya gini sih. Apalagi kalau bawa anak, ada kemungkinan malah bikin anak ngga nyaman. Jadi, memang perlu juga sih, ngasih sounding ke anak biar dia juga tahu bahwa rata2 camping dg ada tetangga gini, ya harus siap dg kemungkinan ketidaknyamanan

      Reply
  22. Camping ala campervan ini seru ya teh
    Aku sebenarnya pengen ajak suami dan anak anak Camping ala campervan gini
    Cuma belum Nemu dimana ya bisa, sekitaran Malang gitu
    Soalnya itu yang paling dekat dengan Surabaya

    Reply
  23. Padahal yang dicari dari vibes ngamping /camping ya tentu saja suasana minim elektronik biar terasa banget aktivitas camp nya.

    Wah jadi gak betah banget kalo ada yang bawa sound begitu. Bikin pengen menikmati alam jadi gagal total teh..

    Reply
  24. Pengen deh punya campervan gitu mbak kebayang kalo camping sekeluarga bebas deh bisa dimana aja pilih lokasi. Menjauh dari rombongan2 yg kadang ga mikir kalo mereka tu di area umum dan seenaknya aja ga peduli ada orang lain di sekitarnya. Kesel ya jadinya mbak

    Reply
  25. Camping memang enaknya menikmati alam. Tapi, mau camping atau enggak, memang kita semua juga harus tau situasi. Misalnya kalau camping di tempat umum, ya jangan menyetel musik yang keras sampai mengganggu yang lain

    Reply
  26. Aku bingung deh, kok ada orang yang camping malah nyalain musik kenceng ya. Kan ganggu hewan juga dan orang yang mencari suara alam. Kalau mau musik ya di karaoke-an gitu. Kasian alam yang kasih keindahan malah dikasih musik kenceng gitu. Bisa ditegur mungkin mba kapan-kapan, yang kayak gini merusak mood camping.

    Reply
  27. Bagus juga sih menurut aku trend wisata kaya gini jadi bisa mengenalkan alam pada anak-anak juga, meskipun ga ada aturan kakek nenek juga bisa ikutan malah seru ya mbak.
    Banyak camverpan juga yang sekarang di mana-mana

    Reply
  28. Ada sewa compervan komplit di Jakarta mana kereen banget only 750rb perhari maak…aq pernah ulas di blog juga, nah kebetulan kami jg pernah sewa compervan waktu di yogya trs camping di pinggir pantai watu kodok.

    Reply
  29. teteh … aku balik sini lagi, hahaha
    alhamdulillah camping pertama lancar
    bener lho apa kata teteh, lha kok camping ground rame plus ada dangdutan sampai tengah malam
    ini sih camping lebih rame dibanding komplek perumahan.

    Reply
  30. ya ampuuun ganggu banget yaaa mba.. aku. juga bakalan sebel banget dan negur mereka yang ngga toleran dengan orang lain. back to nature kan karena memang ingin menikmati alam yang damai

    Reply
  31. Nah, ini dia yang nggak peka, bisa dibilang gitu. Padahal niatnya kemping kan pengen menyatu dengan slam. Nah dia malah nyetel musik kenceng. Kalau mau sih jangan pakai speaker ya. Pakai headset aja biar dinikmati sendiri.

    Reply
  32. Iya ya mbk, sekarang tuh camping bukan buat pecinta alam aja, buat semua.. Apalagi sekarang banyak banget hotel kekinian yang ada di dekat hutan yang bikin konsep penginapan seperti camping.
    Kalo lihat mobil campervan auto inget artis Ayudia yang hobi banget jalan ke LN pake mobil ini.

    Reply
  33. Camping dangdutan? Seru juga kalo seisi camping ground temen temen dia ato sodara sodara dia sendiri!

    Mbok yaaa di alam kesempatan mendengarkan suara jangkrik – tonggeret – kodok dll yaaa

    Reply
  34. Kalau suaranya masih model akustikan dan nggak berisik-berisik banget dengan volume level menenangkan sih, bisa lah dianggap backsound saat liburan dan nggak mengganggu. Emang kalau lagi enak enak selonjoran di antar rumput atau menikmati suasana malam di tempat hening ujug-ujug diganggu musik dangdutan tuh rasanya, beneran bikin pengen pulang sih.

    Kebayang bakalan seasik apa kalau keliling jalan-jalan naik campervan gini. Seru kali ya.

    Reply
  35. Camping di alam bareng keluarga auto inget family movie besutan Hollywood berjudul “RV” trus inget juga Keluarga Kusmajadi yang keliling Indonesia pakai mobil karavan. Keren euy Teh Okti n keluarga suka camping di alam ya. Setuju, sesama peserta camping mestinya toleransi dong jangan muter musik keras2 sampai mengganggu yg lain.

    Reply
  36. Wow, campervan, dulu sempat berandai-andai punya mobil macam itu supaya bisa travelling dengan nyaman dan leluasa. BTW, sepakat bgt dengan toleransi saat camping. Gembira suka ria boleh2 aja asal tau tempat & sewajarnya menurut standar masyarakat pada umumnya.

    Reply
  37. Iya lho, nyebelin banget kalau kamping dan di dekat situ ada rombongan yang nyetel musik kencang banget. Apapun jenis musiknya, bikin kesal. Dan kebanyakan kok ya musik dangdut.

    Reply
  38. Aku pernah nih pakai Camper Van. Seru banget… Tapi tetap perhatikan sekitarnya, jangan seenak jidatnya sendiri. Nyetel musik kenceng kenceng. Hahaha

    Jadi pengen balik ke masa lalu deh.

    Reply
  39. Kami sekeluarga juga baru ngalamin…. Kiri kanan atas bawah posisi tenda kami dipenuhi suara suara sound system tamu + nyanyian nyanyian fales. Pengen pulang rasanya.

    Intinya cuma 1 : ga punya toleransi dan etika

    Reply
  40. Terima kasih tulisannya mbak. Keluarga kami pun mengalami dan merasakan hal yang sama.

    Yang paling menyedihkan menurut saya adalah keacuhan dari pihak pengelola bumi perkemahan. Karena hanya mereka yang punya otoritas untuk menentramkan perkemahan.
    Namun, tak jarang, malah mereka yang justru membuat “polusi bunyi” di tempat mereka sendiri dengan speaker yang besar2, seakan2 memberi informasi : “silahkan menyetel musik sekeras2nya di tempat ini”.

    Kami tidak bisa memaksa orang2 yang berkemah untuk tidak menyetel musik keras2 atau untuk tidak menyampah, karena khawatir hanya akan menimbulkan pertikaian. Karena, menurut pengalaman saya, manusia2 seperti itu hanya memikirkan diri sendiri. Mereka tidak akan pernah merasa bersalah, jadi percuma untuk diminta untuk mengerti orang2 yang ingin menikmati indahnya bunyi2 dan suara2 alam.

    Maka dari itu, hanya dari pihak pengelola yang mampu untuk menertibkan. Tapi kenyataannya adalah, bahwa mereka juga bagian dari manusia2 berisik dan jorok tersebut.

    Yang parah adalah di atas / lereng / sekitar Gunung. Dimana, berdasarkan kisah2 yang saya dengar dari orangtua2 dulu, bahwa Gunung itu sakral, tempat sembahyang, tempat merenung, tempat meditasi, tempat tinggal orang2 suci, tempat sedulur2 yang tak kasat mata, bahkan beberapa adalah tempat para Dewata. Jadi, kita itu hanya bertamu di sana.

    Saya hanya retoris bertanya, “buah” apa yang akan manusia terima ketika bertingkah kurang ajar dan jorok di rumah orang lain? Dan apakah manusia2 itu akan sadar bahwa “buah” tersebut adalah akibat dari karma yang mereka buat di rumah orang lain?

    Tapi kami merasa, bahwa memang sudah waktunya seperti ini. Bahkan justru bagus, jadi terlihat siapa kawan kita dan siapa yang bukan.
    Gusti sudah perlihatkan dengan jelas.

    Salam hangat,
    GS

    Reply

Leave a Reply to AisyahDian Cancel reply

Verified by ExactMetrics