Ngabuburit Beda: Petualangan Menelusuri Jalan Mati

Ngabuburit Beda: Petualangan Menelusuri Jalan Mati

Hanya bisa gigit jari ketika blogger kota cerita soal ngabuburit kekinian di restaurant, stay action di hotel berbintang, atau acara buka puasa bersama, dengan pejabat dan atau komunitas ternama di ibu kota. Kami yang di kampung kok merasa bosan gini ya? Siang malam ketemunya sawah, kebun, tetangga, sawah tetangga lagi dan kebun tetangga lagi. Kezel!

Hari-hari rutinitas saat bulan puasa gitu-gitu aja, setelah subuh lanjut tadarus, lalu bersih-bersih dan mengerjakan pekerjaan yang ada hingga waktu dhuhur tiba. Ngurus anak, buka internet, lanjut baca buku atau tadarus lagi hingga ashar tiba. Tidak ada siaran tv, kecuali dapat berita dari media sosial jika kami baca.

Setelah ashar anak-anak santri mengaji datang ke rumah, suami yang mendampinginya sementara saya di dapur masak apa yang ada dan kami punya. Gak aneh apalagi menarik, menu harian tidak jauh dari sambal, lalapan dan ikan asin. Meleleh kalau ingat kesabaran suami yang menerima semua masakan dengan rasa yang campur-campur itu. Tidak ada soup buah apalgi koktail. Paling banter syrup yang iklannya wara-wiri di tv. Kalau ada pisang baru buat kolak. Tidak setiap hari tentunya.

Sebagai manusia kadang ingin berontak rasanya. Atau ada keajaiban datang sesekali kek bisa tukar tempat sehingga bisa tukar pengalaman. Kami yang di kampung bisa merasakan kenyamanan hidup di kota, sementara orang kota juga bisa mencoba hidup ala-ala orang desa yang apa adanya. Tapi lagi-lagi suami suka mengingatkan, dengan bersyukur semua akan terasa indah. Ya, saya istigfar dan merasa nyaman dengan semua karunia. Kurang apalagi jika meski tinggal di desa kami toh tidak kampungan-kampungan amat.

“Beda itu keren. Kalau teman-teman ibu cerita tentang asyiknya puasa di kota, kita juga bisa cerita kondisi daerah kita. Kampung? emang iya. Ibu cerita buat terapi saja biar ibu merasa lebih lega. Ya syukur-syukur bisa bermanfaat juga buat pembaca lain. Ayo kita silaturahmi ke Sukanagara,” celoteh suami beberapa hari lalu bikin mata berkaca-kaca.

Pulang dari rumah ibu saya di Sukanagara iseng suami ngajak melewati jalan yang tidak biasa. Jalan Mati Cibitung Jampang Cipari. Kalau biasanya jalan lewat Coblong Pasir Pari, kini mencoba berpetualang melalui jalan mati jalan Teh Nusamba Cijampang.

Sebenarnya tidak mati-mati amat. Karena meski sudah puluhan tahun jalan Cijampang ini tidak dipakai menyambungkan antara wilayah Cianjur tengah dan selatan tapi masih bisa dilalui dan jadi akses utama bagi warga Cijampang, Cibadak, Cibacang, Desa Situhiang, Desa Pangadegan dan sekitarnya. Hanya karena sudah tidak jadi jalan kabupaten maka tidak terurus dan rusak parah. Lebih buruk dari jalan desa yang sudah banyak diaspal dan dicor.

Jadi ingat terakhir kali menginjak jalan mati ini tahun 1998 saat itu lagi sekolah. Masuk pramuka dan demi jadi bantara harus melalui semacam jurit malam. Rute yg dilalui ya dari Teh Nusamba pertigaan Cibitung ini, sampai ke Curug Muril. Yang lain lanjut ke Sasak Lengkung peninggalan Belanda, hingga tembus ke Leuwi Putat dan keluar dari Cipari Pagelaran.

Saat sekolah itu belum ada hp, apalagi media sosial. Yang ada masih banyak cerita mistis. Curug Muril yang katanya jadi lokasi sarang begal, banyak makan korban dan jadi lokasi seram sangat menghantui pikiran. Sementara saya dan calon bantara lain harus jalan kaki pulang pergi. Mana jalan berbatu, gelap dan sepanjang jalan yang dilewati itu hutan. Tapi alhamdulillah cerita mistis dan sebagainya tidak terbukti meski sempat ada teman yang kencing di celana saking takutnya. Saya dan teman-teman pramuka berhasil melewati alang rintang baik yang dibuat senior pramuka maupun rintangan alam yang sebenarnya.

Kini bulan puasa tahun 2017 saya baru kembali menginjakkan kaki ke jalan mati ini. Sudah banyak perubahan. Rumah mewah bergarasi sudah banyak dibangun di sepanjang jalan. Meski kekontrasan tampak disana sini. Yang kaya banyak yang miskin juga sangat memprihatinkan. Cijampang terkenal dengan aura mistis dan kedugalannya. Entah benar entah tidak. Tapi yang saya tahu dari daerah Jalan Mati ini banyak warganya yang merantau jadi TKI ke Arab Saudi. Tidak sedikit yang sudah bermukim di sana, dan di kampungnya sini sudah jadi juragan.

Mengendarai sepeda motor boncengan seperti biasa kami akhirnya kami sampai di Curug Muril. Suasananya beda dengan puluhan tahun lalu. Tidak tampak angker lagi. Malah kayanya Curug Muril sudah jadi lokasi wisata tersembunyi. Di jembatan menuju curug itu sudah ada jalan setapak. Dan di dekat jembatan ada gubuk sepertinya warung warga. Hanya saat kami ke situ sedang tutup. Mungkin karena bulan puasa . Yang punya warung pulang karena yakin kalau dagang juga gak akan ada yang beli.

Fahmi suka dengan suasana Curug Muril. Airnya yang jernih, bersih dan tidak “menakutkan” sangat nyaman jadi lokasi bermain anak. Suasana yang sedang panas mendukung sekali main di curug yang dilindungi pepohonan yang usianya mungkin puluhan tahun. Saya yakin kalau malam pasti menakutkan. Karena gelap tidak ada cahaya listrik di tempat itu. Termasuk di gubuk yang saya kira warung milik warga tadi.

Curug Muril terletak di daerah Ciwalahir, Sukanagara. Lokasi di jalan (bekas pabrik Teh Nusamba) Cibitung arah ke Cijampang. Sekitar 5 KM dari jalan aspal kabupaten. Lokasinya sepi sekali cukup jauh dari perkampungan. Sepanjang jalan yang dilalui hutan milik negara /perhutani.

Tinggi curug sekitar 10 M. Saat kami datang airnya kecil mungkin karena sedang musim panas. Sebulan kemarau. Saat air surut jadi terasa cukup landai sehingga tidak mengeluarkan bunyi “menakutkan”. Karena itu mungkin Fahmi jadi suka dan betah. Beda saat di Curug Ngebul atau Curug Citambur yang airnya tinggi dan deras hingga mengeluarkan suara bising menyebabkan Fahmi nangis ketakutkan. Di Curug Muril ini tidak. Fahmi malah betah main air… Kalau bukan bulan puasa kayanya cocok bawa bakal. Mandi dan berman sambil piknik ala-ala…

Setelah puas bermain bersama kecebong di Curug Muril kami melanjutkan perjalanan terus menuju Pagelaran menelusuri jalan mati. Jalan masih hancur. Kami disalip satu mobil elf Cijampang. Beberapa penumpang turun di jalan menuju perkampungan. Mereka pulang dari pasar Sukanagara. Terlihat dari belanjaannya.

Kami terus menelusuri jalan berbatu dengan di sisi kiri kanan hutan pinus. Kondisi jalan terus menurun. Elf entah sudah dimana, kami jauh tertinggal. Sampai kampung Cimanggu Desa Situhiang terdapat pesantren cukup besar. Ini sudah masuk kecamatan Pagelaran. Kondisi jalan masih rusak dengan kontur turunan melingkar. Kami dibawa berputar-putar turun berkelok-kelok menyisiri bukit pohon pinus.

Melewati SDN Cibacang di Desa Pangadegan jalan masih rusak. Sampai kami lewat Jembatan Melengkung (sasak lengkung) yag juga angker dan banyak cerita mistis yang mengiringinya peninggalan penjajah Belanda. Sasak melengkung masih kokoh ada bersisian dengan jembatan baru yang baru selesai dibangun. Yang rusak hanya papan-papan alas dan aspalnya. Besinya masih kuat tidak keropos. Peninggalan Belanda memang bagus-bagus dan kuat bahannya.

Ada kabar kedepannya jalan mati ini akan kembali digunakan sebagai penghubung Cianjur Tengah dan Selatan. Karena itu beberapa jembatan besar seperti Sasak Lengkung, Sasak Leuwi Putat, Jembatan Citajur sudah diperbiki. Hanya beberapa jembatan dekat perkampungan warga justru belum permanen. masih mengandalkan gelondongan kayu dan batu. Entah kapan, entah benar atau tidak jalan mati ini akan hidup kembali.

Waktu tempuh normal di jalan hidup hanya 20 menit, kami habiskan hampir 2 jam di jalan melalui jalan mati ini. Kondisi kami yang sedang puasa di tengah panas matahari yang terik jangan ditanya bagaimana lemasnya. Belum lagi badan pegal dan sakit semua. Mengendarai sepeda motor di sungai kering maksudnya jalan terjal yang bebatuan nya gelundungan kaya di sungai gitu bikin semua sendi terasa pada mau copot.

Beruntung Fahmi tidak rewel atau minta minum misalnya. Secara kalau berpetualang kami biasanya bawa bekal khususnya cemilan anak. Kali ini tidak dan alhamdulillah Fahmi baru minta minum setelah kami sampai rumah sore harinya. Ngabuburit dengan berpetualang kami ini memang beda. Perjalanan luar biasa nambah wawasan dan empati. Kami harusnya lebih bersyukur setelah melihat sendiri kondisi di Kabupaten Cianjur bagian selatan masih ada sarana serta prasarana umum yang begitu tertinggal padahal jadi negara merdeka sudah 70 tahun lebih.

Tidak aneh kalau saat pembagian dana sosial dari pemerintah pusat, PT. POS Indonesia sebagai fasilitator dan sidtributor yang saat ini berada di Pagelaran dekat jembatan besi Cijampang selalu penuh dikerubuti warga kelas menengah ke bawah. Desa Situhiang, Desa Pangadegan, Desa Bunijaya, dan desa-desa lainnya yang lebih pelosok dan masih sulit akses ke kota (kecamatan saja) ternyata masih banyak.

Ngabuburit kami yang beda, berpetualang melewati jalan mati menghasilkan rasa syukur dan empati ini moga makin mempertebal keimanan dan ketaqwaan. Amin.

10 thoughts on “Ngabuburit Beda: Petualangan Menelusuri Jalan Mati”

  1. Ih cantik itu mah Teh.

    Ida di Cikarang juga gak jauh beda. Kegiatannya cuma di lingkungan aja, gak kemana-mana. Cuma kalo masak jarang Ida. Ada bayi soalnya, jadi makan sering di luar.

    Reply
  2. Segernya lihat curug. Aku juga mau ngabuburit ke alam seperti ini tapi di Jakarta mana ada. Ya dinikmati aja bentar lagi mudik ketemu sungai dan sapi.
    Btw jurit malam lewatin daerah sepi peninggalan Belanda gitu, hiiii

    Reply
  3. Di bekasi kota, yang namanya kepengen liat sawah itu kudu banget nyari ke kampung yang lokasinya lumayan jauh. Allhamdulillah ya Teh, masih disapa pemandangan meski kadang jenuh menyapa. Manusiawi kata saya mah. Soalnya saya pun kadang berpikir demikian, kepengen malahan staycation di desa hihi. Tapi, ya itu tadi, syukuri apa yang ada.

    Semoga nanti ada kesempatan ya Teh, kerjasama dengan kawan2 blogger di daerah teteh.

    Reply
  4. Baru tahu knp dikatakan mati. Eh ternyata karna sepi dan jalan rusak itu kali ya mbak. Btw pemNdangannya aseli dan sejuk tentunya karna jarang dilewati orang. Hehe

    Reply
  5. Waktu aku tinggal di desa aku juga pernah merasa bosan. Tapi aku rasanya hanya kufur nikmat aja, kurang bersyukur hahhaa
    Padahal kalau sekarang udah di kota, yang paling dirindukan adalah suasana desanya. Apalagi masakan masakannya yang sederhana. Masakan ibu.

    Meski hanya tempe dan sayur, justru itu yang bikin rindu mbak.

    Bahkan rasanya, bagi orang desa udah bisa internetan dan ngeblok kayak teh okti itu udah keren 😀
    Bisa tuh ajarin warga yang lain yang masih gaptek 😀

    Reply

Leave a Reply to Leli Cancel reply

Verified by ExactMetrics