Rahasia Mendaki Gunung: Lebih Seru Disertai Ilmu

Rahasia Mendaki Gunung: Lebih Seru Disertai Ilmu

Ketika mendaki gunung berapi tertinggi di Indonesia, saat turun kami sempat bicara dan berbagi bekal kepada salah satu pendaki yang katanya sakit. Kami sempat menyarankan untuk ngecamp (lagi) saja dulu, tapi mereka memaksakan diri. Alasannya teman-temannya sudah jalan duluan.

Keesokan harinya ketika kami sudah bersih-bersih di basecamp ada kabar kalau pendaki sakit yang kami temui itu meninggal dunia. Team kami hanya saling pandang untuk sesaat. Berasa tidak percaya.

Proses evakuasi jenazah pendaki peserta upacara penaikan bendera merah putih 17 Agustus 2019 di Puncak Gunung Kerinci, event gunung yang kami ikuti.

Beberapa teman berargumen, kalau saja mereka gak memaksakan diri, nunggu team rescue datang sekadar untuk membantu mengobati, mungkin tidak akan berakibat fatal.

Selalu ada pelajaran (hidup) setiap kami turun dari mendaki. Apalagi kami mendaki gunung selalu membawa anak balita. Termasuk berita yang beredar lainnya seputar pendakian meskipun kami tudak ikut serta.

Seperti saat tersiar kabar mengejutkan ketika ada pendaki meninggal di Gunung Merapi, Prau, dan Tampomas beberapa waktu lalu semua adalah pelajaran penting bagi kami. Mendaki gunung memang petualangan yang seru, malah mungkin bagi sebagian orang terkesan ekstrim karena itu butuh ilmu dan pengetahuan mumpuni agar perjalanan pendakian berahir selamat dan menyenangkan.

Yang saya ingat banyak orang berburu puncak setelah tayang film ‘5 CM’. Selain menggambarkan keindahan Ranu Kumbolo, film itu juga berhasil menularkan tren mendaki gunung untuk anak muda.

Ranu Kumbolo, Gunung Semeru

Jadinya main agak jauh ke gunung tidak hanya buat mereka yang aktif di kegiatan pecinta alam, namun juga mereka yang sebelumnya tidak aktif. Ikut-ikutan?

Mungkin juga karena kebiasaan anak muda di kita yang ingin eksis mencari jati diri, maka puncak gunung dianggap sebagai salah satu cara pembuktian di dalam lingkungan sosial mereka. Pasti bangga dong bisa memenuhi akun sosial media dengan gaya bersama carrier segede gaban, atau selfie diantara hamparan edelweiss si bunga abadi. Namanya juga anak muda gituloh…

Tapi masih banyak yang lupa, gunung bukan sebuah ajang pertaruhan. Mau bilang apa kalau sudah kejadian seperti Erri Yunanto yang meninggal karena terjatuh ke kawah Gunung Merapi setelah nekat berfoto di Puncak Garuda, sebuah spot yang berbahaya?

Terus apa mau menyalahkan mereka yang mengkritik perilaku para pendaki yang berniat eksis di social media, namun mengabaikan keamanan dan keselamatan tersebut?

Dari banyaknya kejadian yang tidak mengenakkan selama di gunung itu, saya sendiri merasa perlu untuk terus mengulas dan mengevaluasi mengenai hobi naik gunung. Tujuannya tentu saja agar kita memiliki pemahaman yang tepat bahwa naik gunung adalah kegiatan yang serius dan bertanggung jawab. Bukan cuma untuk gaya-gayaan.

Apalagi bagi pendaki yang nekat bawa anak, memang butuh banyak pengetahuan dan persiapan untuk bisa mendaki gunung.

Pertama kali dibawa naik gunung (beneran) usia 3,5 tahun

Itu kenapa meski sudah emak-emak, saya memaksakan diri tetap belajar bersama komunitas atau para senior. Terus upgrade diri tentang apa saja yang harus dipersiapkan, bagaimana cara packing yang benar, apa yang harus diwaspadai di gunung termasuk bagaimana cara mengurus perizinan.

Hehehe meski piknik atau traveling pribadi kalau naik gunung tetep harus izin lho ke kantor taman nasional atau dinas kehutanan setempat. Dan itu biasanya dianggap ribet lalu banyak yang diskip.

Tidak sedikit yang bertanya ke saya gimana dengan bekal naik gunung kalau bawa anak? Apa melulu dikasih mie instan? Ngikik panjang saya menjawabnya. Makanya saya bilang meski sudah emak-emak saya keukeuh tetep terus ingin belajar. Supaya saya tidak melulu ngasih makan anak di gunung mie rebus terus 🤭🤭🤭. Biar saya tahu, gimana memanage bekal makanan, bawa obat-obatan, cara memasang tenda, sampai teknik mendaki yang benar meski harus ngesot gendong balita.

Apalagi jika seperti sekarang, musim sedang tidak bisa diprediksi, kita para pendaki (meski bukan instruktur atau ranger) tetap harus punya wawasan cara ambil solusi kalau harus menghadapi kondisi alam yang tiba-tiba terjadi di luar dugaan.

Etika saat berada di gunung atau alam terbuka juga penting untuk diperhatikan dan dilakukan. Sebagai orang Indonesia, tahu sama tahulah kalau di beberapa daerah masih banyak aturan tidak tertulis mengenai gunung atau suatu daerah. Sopan santun terhadap alam, bukan sesuatu yang mengada-ada. Lagian apa beratnya sih kalau kita ikuti saja? Ibarat bertamu di rumah orang, mau tidak mau kita selama di sana harus menghargai pemilik rumah, iya toh?

Setidaknya para pendaki punya aturan baku yang berlaku secara internasional. Aturan yang oleh sebagian pendaki (pemula) dijadikan semacam kata mutiara: “Take nothing but pictures, kill nothing but time, leave nothing but footprints,”

Jika etika hidup di alam (meski yang standar) sudah dimengerti, seharusnya gunung atau alam kita ini sudah bebas dari sampah, tidak ada perusakan dan tidak akan ditemukan vandalisme, bukan? Karena sudah jelas tindakan itu tercela, menyalahi etika.

Jangan karena kebelet naik gunung, lalu asal menentukan gunung mana saja yang dikunjungi. Emang sih rata-rata memilih ke gunung yang dekat saja, biar minim biaya. Tapi (kalau bisa) kita harus lebih dulu menentukan alias biasa memilih gunung mana yang sebaiknya kita daki (lebih dahulu). Prioritas karena sesuai dengan teknik dan ilmunya.

Ada beberapa gunung yang menjadi favorit untuk para pemula, misalnya Gunung Papandayan di Garut atau Gunung Api Purba di Nglanggeran daerah Yogyakarta. Hitung-hitung perkenalan, apalagi kalau bawa anak, jadi anak tidak kaget dengan suasana alam. Lanjut kalau sudah mulai terbiasa ke gunung yang lebih tinggi. Yang lebih ekstrim.

Selain naik gunung yang cocok untuk pemula disarankan sebagai pengenalan, juga sebagai ajang belajar mengambil manfaat lain mulai dari melatih kerja sama (tim atau keluarga) dan belajar lebih banyak tentang alam secara bertahap.

Memilih gunung sebagai tujuan untuk mendaki jangan sampai karena melihat orang lain sudah ke sana. Duh foto di sana bagus tuh, atau wah keren nih sudah sampai sana… Tapi tekankan kalau kita ke sana karena memang sudah mampu baik pisik maupun mental.

Perencanaan yang sempurna sebelum melakukan pendakian bagi saya dan keluarga wajib hukumnya. Karena ketika melangkahkan kaki menuju alam rimba, pemahaman yang cukup tentang kegiatan naik gunung sudah tidak bisa ditawar lagi harus dimiliki.

Mungkin belum disadari banyak pendaki, jika kita naik gunung itu sebenarnya tidak menaklukan puncak gunung, melainkan menaklukkan ego dan kesombongan kita sendiri. Perjalanan menuju puncak, adalah pencarian jati diri dengan kesabaran dan membangun ikatan kerja sama yang kuat dengan teman.

Di gunung, sejatinya kita ini bagian yang tidak terpisahkan dengan alam. Kita adalah matahari yang muncul dan tenggelam, kita adalah embun, kita adalah debu yang tertiup angin. Kita hanyalah setitik harapan di hadapan pemandangan alam yang indah ciptaan Tuhan.

Karena itu, yuk jadilah pendaki gunung yang bersikap dewasa dan bertanggung jawab. Dengan begitu sedikitpun tidak akan mengurangi keseruan petualangan kita di gunung. Yang ada justru kita akan bangga, sudah mampu menjaga sikap, ahlak dan niat.

Dengan sikap yang tepat, insyaallah alam seliar apapun akan menyambut kita dengan tangan terbuka. Miliki ilmunya maka petualanganmu di alam terbuka akan lebih bermakna dan seru.

Akhir kata selamat liburan sekolah dan liburan akhir tahun, selamat menunaikan (ibadah) mendaki gunung.

Segala sesuatu sertai dengan ilmu….

23 thoughts on “Rahasia Mendaki Gunung: Lebih Seru Disertai Ilmu”

  1. Maa syaa Allah mbak, toss dulu lah sesama anak gunung wkwk. Aku salut yang ngajak anak-anak ke gunung. Pertama nanjak aku ke Gn Gede. Kena hipotermia di surken. Gara-gara persiapan ga optimal (bukan cuma maksimal). Nanjak kedua, persiapan mantep banget. Dan bener, alhamdulillah lancar, malah saya berasa jadi tim medis yang siap sedia bantuin temen pendaki pemula yang ga enak badan/kecapekan. Saya beli semua amunisi yang kelihatannya mungkin sepele, salah satunya yaitu aluminium foil blanket karena pengalaman hipo yang menyiksa. Sampe akhirnya sekarang jadi mahir nanjak haha.

    Reply
  2. Memang ya teh semua itu butuh ilmu, karena jika kita menjalankan sesuatu tanpa ilmu itu akan sia sia.. alias tidak ada hasil.. begitu juga dengan mendaki gunung harus belajar dulu..ada ilmu yang harus dipelajari agar tidak kesulitan saat mendaki gunung

    Reply
  3. Teh Oktii…biasanya kalau mau naik gunung ini bareng-bareng komunitas atau sendiri aja, teh?
    Yang bikin aku penasaran lagi, menentukan jenis gunungnya ini gimana?
    Hasil googling kah?
    Aku belum berani, teh…padahal penasaran…gimana rasanya jadi pendaki gunung.

    Reply
  4. Segala sesuatu harus disertai dg ilmu. Setuju sekali mba.. Dan post ini penting banget dibaca bagi sesiapa yg ingin naik gunung. Bukan sekedar gegayaan atau ikut trend, tapi belajar mengenal diri sendiri di alam terbuka, mungkin itu salah satu alasan yg lebih tepat ya .. TFS mba…

    Reply
  5. Segalanya emang pakai ilmua ya. kalau gak pakai ilmu ngos2an ntr ada kemungkinan tersesat pula hehe 😀
    Tapi sebaiknya kalau belum pro mending mendaki bersama dengan guide yang profesional ya mbak. Bener kalau mendaki gunung konon katanya kudu berserah dan punya niat bagus ya mbak soalnya kdng ada kejadian gak diinginkan. Plus jangan lupa berdoa 😀

    Reply
  6. Wah keren banget Teteh bisa nge-gunung sembari membawa anak,
    Dari usia 3,5 tahun udah dibawa ke gunung, pastinya walau repot tetap menyenangkan kalau dinikmati yah Teeeeh.

    Setuju Teh, harus upgrade diri dan mencari ilmunya terus yah Teh supaya terhindar dari hal-hal yang gak diinginkan.

    Reply
  7. aku srg ntn youtubenya para pendaki kayak dzawin sama fiersa bersari.. emang bener, ndaki gunung gak boleh cuman buat gaya2an, hipotermia terjadi biasanya krna perbekalan yang kurang siap, ilmunya gak dipake

    bener mbak?

    Reply
  8. Aku sejak nikah dan punya anak udah gak pernah lagi menjelajahi gunung, kayak waktu masih muda dulu. Kangen sebenarnya, tapi dapat suami yang sukanya ngemall atau jalan-jalan di lereng gunung aja. Itu pun dia aslinya enggan awalnya kalo diajakin jalan ke alam. Tapi aku bilang anak-anak butuh mengenal alam, seperti yang dicontohkan teh Okti ini. Keren loh masih rajin mendaki gunung

    Reply
  9. Kalau udah jiwa naik gunung susah ya disetop teh. Salut sama teh okti yang tetep setia naik gunung ditengah kesibukan jd ibu rumah tangga

    Reply
  10. Mendaki gunung butuh persiapan yang matang ya, Teh Okti, biar perjalanan lancar dan selamat juga. Gimana pun alam, terutama gunung, punya tantangan dan rintangannya sendiri, belum lagi faktor cuaca. Butuh ilmu dan pengetahuan juga terkait hal ini agar tetap memprioritaskan keamanan diri dan teman perjalanan

    Reply
  11. Hebat nih Teh Okti masih aktif mendaki gunung dan membawa buah hati naik ke puncak.
    Iya, anak sekarang suka latah aja ikut-ikutan naik gunung asal bisa eksis. Dulu pas kuliah aku hobi naik gunung untuk mencari kedamaian. 😉

    Reply
  12. Ampun, Dewi angkat tangan kalau diajak mendaki. Dulu mikirnya gitu soalnya anak-anak masih balita, tapi next bisa jadi panutan nih tipsnya teh okti, apalagi kalau bawa anak harus siap pengetahuan dulu nih:) thanks teteh Okti

    Reply
  13. Ya Allah teh keren pisan. Aku dulu (lumayan sering) keluarin keringat minimal hiking. Sekarang lemak ku gelendotan ga bisa diajak jalan kaki beli gorengan teh. Dan benar banget seharusnya gunung atau alam kita ini sudah bebas dari sampah, tidak ada perusakan ini kalau liburan ke gunung sampah aja sudah dimana-mana teh

    Reply
  14. Aku tuh selalu kagum bukan main tiap kali liat temen-temen yang abis turun gunung, keren aja gitu, dan setelah tau bahaya yang mengintai itu aku jadi makin berasa kagum deh ama kalian… bener juga sih kak, kalua bias bukan cuma buat gaya-gayaan aja ya tapi juga harus disertai ilmu yang lengkap

    Reply
  15. betul banget teh okti…
    naik gunung tuh ga asal naik. kita wajib persiapkan kebutuhan minimal utk diri pribadi. miris kalau melihat pendaki yg tanpa dibekali ilmu. aku sering lho sampai diatas ada yg minta bantuan ini dan itu. yg harusnya mereka sudah persiapkan. kadang susah untuk menularkan prilaku seperti itu. bukan tidak peduli dg mereka, tp kepedulian pada diri sendiri perlu ditanamkan juga kepada mereka.
    makasi sharing ya…ini bisa aku bagikan kepada junior2ku di kampus.

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics