Hantu Karung Pos Dua
Meski gelap, aku tak menyalakan headlamp. Setelah pamit kepada suami dan guide langsung menerobos semak di belakang Pos Dua. Tak kuat lama-lama menahan. Di balik pohon besar aku berjongkok gelap-gelapan.
Perjalanan hampir tidak ada hentinya dari Pos 9 ke Pos 2 ini memang cukup melelahkan. Sepanjang jalan tidak ada kesempatan untuk sekedar melipir. Yah kalau pun ada kesempatan, saat siang bolong terang benderang rasanya tidak nyaman untuk melakukan hal-hal yang teramat privat.
Gunung Slamet dengan ketinggian 3428 meter di atas permukaan laut terkenal sangat sedikit sumber airnya. Pendakian nonstop saat cuaca cerah membuat peluh membanjiri sekujur tubuh. Minum setiap ada kesempatan dilakukan supaya cadangan air dalam tubuh tetap tersedia dan cairan tubuh terjaga.
Minum dan minum sepanjang perjalanan selagi masih ada persediaan air tentu saja membuat kantung urine menampung banyak cairan yang harus dibuang. Namun karena kondisi selama turun dari puncak tak memungkinkan, maka merasa lebih baik memilih untuk menahan saja hingga ketemu waktu dan kesempatan yang pas.
Magrib di Pos Dua inilah sepertinya kesempatan terbaik itu aku temukan. Suasana yang sudah gelap, saat teman-teman pendaki baik yang turun maupun naik sejenak melepas carrier untuk istirahat dan sholat maghrib aku bisa melipir tanpa banyak was-was ada mata manusia yang melihat.
Di gubuk milik warga yang biasa dijadikan warung untuk berjualan kami sepakat untuk istirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Pos Satu. Seorang kakek tampak sedang membereskan meja dan memasukkan barang yang akan dibawanya pulang.
“Numpang istirahat ya, Kek…” Ucap Yanto, guide kami selama pendakian.
“Silahkan… Hanya maaf ini sudah beres-beres. Tidak ada minum atau cemilan. Maklum sudah mau pulang. Sudah dibereskan semuanya,” jawab si kakek sangat ramah.
“Tidak apa-apa Kek…” Kami serempak menjawab.
Si Kakek tampak sibuk dengan barang-barang dagangannya. Memasukkannya ke karung dan mengikatnya. Sementara kami sibuk melepas carrier, membuka perbekalan yang masih tersisa, dan menyelonjorkan kaki pada bangku-bangku yang dibuat dari gelondongan dahan-dahan kayu hutan.
Setelah Si Kakek pamit pulang dan berlalu dalam gelap malam aku semakin mantap merasa di Pos Dua inilah tempatnya. Aku melipir sambil menenteng tisu dan headlamp.
Yang bikin resah saat mendaki gunung itu ialah ya seperti ini, ketika mau berkebutuhan khusus seperti mau (maaf) buang air. Sudah bukan rahasia lagi jika kondisi gunung yang serba darurat memperbolehkan para pendaki melakukan kegiatan kebutuhan khusus ini di mana saja, tentunya masih dalam koridor aturan, etika dan sopan santun.
Lega dan terasa enteng saat semuanya bisa dilakukan. Meski di bawah pohon besar yang tampak menyeramkan, terdengar pula suara-suara aneh entah dari serangga jenis apa.
Deg!
Jantungku terasa hendak loncat saat menoleh ke sebelah kiri untuk mengambil tisu. Bayangan putih dengan bagian atas diikat sangat jelas terlihat membuatku hampir saja meloncat dan berteriak sekuat tenaga.
Tapi Tuhan lebih cepat memberikanku kesadaran dan keberanian. Lampu yang sejak tadi digenggam namun tak dinyalakan langsung aku senterken ke arah bayangan putih yang berdiri tegap itu. Dan ketakutanku sirna ketika pantulan cahaya dari senter yang aku pegang menyampaikan bayangan setumpuk karung di lensa mataku.
Si Kakek ternyata memilih menyimpan barang dagangannya di balik pohon besar, daripada membawa ke rumahnya di perkampungan jauh di bawah Pos Satu.