Merasa Istimewa Ketika Tidak Ada Pantangan Kecuali yang Dilarang
Perceraian akhir-akhir ini jadi berita yang ramai dibicarakan. Alasan bukan karena sudah tidak cinta, yang jadi pemicu perpisahan justru hal sepele yang tidak dibayangkan sejak berpacaran sekali pun. Ego yang tinggi dari masing-masing pasangan mungkin yang menjadi penyebabnya.
Di lingkungan terdekat saya, ada sepasang suami istri cekcok dan berpisah karena istrinya mulai rewel dalam soal sajian makanan. Padahal menikah sudah lama. Anak sudah banyak dan besar-besar. Dalam arti pasangan ini bukan baru seminggu dua minggu mengetahui makanan kesukaan masing-masing.
Sang suami suka makan ini, istri nya bilang ga suka itu sehingga tidak memasaknya dan bahkan beli jadi pun tidak diperbolehkan nya. Silakan beli tapi jangan dibawa ke rumah. Secara si istri mencium baunya saja tidak suka. Makan di luar dong?
Itu terjadi berkali-kali. Bukan hanya satu jenis makanan, tapi banyak termasuk makanan “wajar” yang tidak lolos sensor sang istri. Mungkin kriteria si istri sekarang berbeda terhadap makanan yang “bersih” itu bagaimana?
Hasilnya di meja makan jarang tersedia makanan. Anak-anak (dan suami) jadi korban. Padahal anak-anak mereka sedang dalam masa pertumbuhan yang membutuhkan banyak asupan. Jajan? Mungkin itu jadi pelarian. Sementara uang jajan dijatah dan yang dibeli jajanan yang belum tentu menyehatkan badan atau dibutuhkan tubuh.
Anak-anak mereka jadi kurus. Kelaparan sih tidak hanya seolah punya rasa takut kalau mau makan karena apa yang mau dimakan? Di rumah selalu tidak tersedia makanan. Anak-anak baru bisa makan kalau sang ibu sedang murah hati mau masak. Itu pun masakan yang menurut ibunya baik.
Kondisi si ibu juga tidak jauh beda kurusnya dengan anak dan suami mereka. Hanya orang luar mengira si istri kurus kering karena makan hati disakiti suaminya. Loh loh loh? Bagaimana sih ini?
Sang suami merasa hal ini harus diluruskan. Tapi saat diajak bicara, si istri balik tidak terima. Malah macam-macam membalikannya. Kondisi rumah tangga semakin runyam manakala satu sama lain sudah terpancing emosi. Tidak bisa dihindari piring terbang pun melayang. Anak jadi saksi. Sehingga di antara mereka terjadi perang dingin.
Sesuatu yang dilihat orang luar penyebabnya sangat sepele, bukan? Tapi dampaknya sungguh sangat luar biasa.
Sesepele itu sampai saya punya komentar soal makanan saja jadi masalah perdebatan. Merusak keharmonisan rumah tangga lagi. Masa iya? Bukannya urusan makanan adalah menempati ranah kebutuhan primer?
Jadi mikir sendiri. Betapa beruntugnya aku. Jadi istri yang tidak pernah melarang dan tidak ada pantangan makanan apapun, masuk meja maka. Baik yang disukai suami, disukai anak, pokoknya selama bisa kebeli dan tidak jadi penyebab sakit silakan saja.
Jengkol, pete, durian, berbagai macam sambal termasuk terasi yang orang bilang baunya naudzubillah, sampai daging kambing yang katanya baunya menyengat, pare yang pahitnya bikin anak bergidik, termasuk ikan yang amisnya susah hilang. Apa saja buatku bebas makan. Mungkin satu yang kami larang, yang pasti yang tidak halal.
Makanan saya dan suami tidak ada yang saling melarang. Lagian semua toh aku juga suka! Jadi bebas saja.
Ada lagi masalah pasutri yang baru saja terjadi, berpisah karena suami dianggap tidak mampu membiayai kebutuhan rumah tangga yang semua sekarang harga naik serba melangit.
Seperti biasa orang di luar hanya mengira dan asal komentar. Itu si istri maunya apa sih, masa sampai suami gak mampu beliin? Lah terus pisahan? Ga ada jalan lain buat cerai?
Duh mengelus dada mengetahuinya. Kembali ke diri sendiri. Aku sama sekali gak istimewa. Tidak ada yang bisa aku banggakan dariku sekecil apapun. Aku hanya bisa bersyukur yang banyak manakala melihat ke belakang, mengenang masa-masa susah ketika anak harus minum susu formula dan kebutuhan lainnya per bulan minimal lima ratus ribu harus kami keluarkan. Sementara penghasilan suami yang masih berstatus honorer tiap bulan hanya menerima Rp.150ribu!
Aku tidak punya keistimewaan apapun. Tapi ternyata aku bisa lega. Berhak mengaku sudah berhasil bertahan dalam lingkungan dan kondisi dimana orang lain banyak yang angkat tangan.
Duh segitunya ya Teh, sampe hal makanan aja jadi ribut dan ujug2 cere, childish banget deh. Tapi juga mungkin yang kita ga tau, ada urusan lain antara mereka hihii.
Ya, intinya kembali ke bersyukur dan legowo. Yang penting buat kita Kuali hatinya perlu diperbesar. Hayu ah Teh, jadi pengen makan jengkol , asin, plus ngaliwet.
Amit2 hidup jangan makin dibikin ribet. Allah cuma minta ngikutin aturannya aja udah slamat dunia akhirat
kadang masalah yang kita anggap sepele, buat orang lain itu luar biasa ya teh..bisa sampai cerai. Kalau itu jg aku ada tetanggaku yang suaminya bercanda masalah poligami, dan si istri malah kepikiran,..eh sampai akhirnya sekarang si istri punya gangguan kejiwaan..nah..padahal kan keliatannya sepele ya tindakan suaminya..cuma bercanda, tapi kan beda penerimaan si istrinya. Makanya sih aku jg gak bisa menjudge keputusan orang lain karena setiap orang punya penerimaan berbeda.
Menikah memang proses belajar dan memahami setiap hari ya Mba. Yang kita anggap sepelu justru mungkin bisa jadi masalah besar untuk orang lain.
Eum, bahan renungan buatku nih. Aku permah gagal berumah tangga. Ngga mau terjadi lagi. Sekarang aku banyak belajar dari suami bagaimana menyikapi perbedaan. Semoga langgeng. Aamiin
Padahal perbedaan itu adalah rahmat yaa, perbedaan itu indah. Ini pelajaran sih buat yang baca, semoga kita terhindar dr hal demikian…
Kadang masalah kecil jadi besar, padahal sebetulnya masih ada jalan dan diskusi yang lebih solutif. Tapi kembali lagi semuanya ke masalah penyelesaian bersama, rasa cinta yang terus tumbuh dan terawat dari masing-masing pasangan. Semoga kita bisa menyelesaikannya dengan baik kalau ada kerikil kerikil muncul ya.
aku baca kalimat pembukanya langsung bergidik, MasyaAllah 🙁
Ya Allah…hanya sekedar makanan kesukaan ya mb sampai ga boleh makan ini itu..
Padahal banyak keluarga lain yg jarang makan krn biaya utk makan kurang. Rela berpuasa demi hanya ‘jgn ngutang utk makan’ krn g ada yg buat nyaur.
Intinya harus ada saling pengertian ya mbak. Semua bisa dibicarakan baik-baik