Mengenang Surabi Menggali Tradisi

Mengenang Surabi Menggali Tradisi

Setiap hari bangun pagi-pagi langsung nongkrong di samping hawu surabi Mak Elot adalah kebiasaan saya dan adik ketika masih di Gumuruh, Bandung. Meski jarak dari rumah dengan saung Mak Elot cukup jauh terhalang lapangan Mesjid Jami At Taufik, namun tradisi sarapan surabi sudah kami lakoni sejak dini.

Surabi adalah salah satu kue tradisional khas dari tatar Sunda. Terbuat dari campuran terigu, tepung beras, parutan kelapa dan rempah lainnya. Jaman saya kecil di Bandung itu, surabi yang dibuat Mak Elot hanya terdapat dalam dua varian rasa. Satu surabi kering dengan rasa asin menggunakan toping oncom, yang kedua surabi basah atau manis, dengan kuah kinca atau air gula merah kental dan wangi pandan.

Saya dan adik berhenti menunggui hawu Mak Elot setiap pagi itu sampai kami pindah meninggal kan Bandung. Kabar terakhir yang saya dengar selain Mak Elot sudah meninggal, juga rumah-rumah di pinggir jalan Gemuruh Rt 02 Rw 06 itu sudah dibongkar. Ketika berkesempatan main ke Bandung nan menengok rumah lama, memang seberang lapangan Masjid At Taufik itu sudah berubah menjadi perumahan mewah.

Meski hawu Mak Elot sudah tiada, namun kenangan saya kepada surabi tidak pernah sirna. Demikian juga ketika saya tanya adik dan mama. Mereka masih ingat betul dan seolah masih bisa merasakan hangatnya surabi buatan almarhumah Mak Elot yang lekang dalam ingatan.

Kini, jaman sudah semakin maju. Generasi milenial memiliki ide brilian dalam mengadopsi berbagai cita rasa kuliner tradisional menjadi hidangan kekinian yang lebih modern dan kaya akan cita rasa. Surabi ini salah satunya.

Surabi dibuat tidak hanya dalam dua rasa surabi kinca dan surabi oncom saja, melainkan berbagai rasa baru mulai cokelat, keju, rasa buah, dan aneka toping lainnya.

Surabi dimakan tidak hanya ditemani dengan teh panas, atau kopi pahit saja, melainkan ada minuman soda, sari buah, juice, mojito, milk shake, latte, ice cream, dan minuman kesukaan anak milenial lainnya.

Lokasi pedagang surabi tidak lagi ngemper di pinggir jalan seperti saung Mak Elot dengan hawu yang mehong karena asap dan api jelaga dari kayu yang dibakar, melainkan berubah di tempat yang ber-AC, ruangan bersih, full dekorasi yang instagramable, kekinian banget pokoknya. Para pelayan cantik dan ganteng, tidak mehong terkena arang karena memasak surabi menggunakan oven dengan kekuatan energi listrik.

 

Pecinta surabi masa kini bukan hanya kaum urban yang suka sarapan di pinggir jalan lagi, melainkan termasuk para sosialita, kelas menengah ke atas yang jalannya saja keluar masuk kendaraan dinas.

Surabi naik kelas. Kue tradisional ini sudah mengalami akulturasi dan pergeseran rasa. Meski soal harga termasuk biasa, terjangkau oleh orang yang benar-benar ingin mencicipinya. Surabi bukan lagi kue khas yang dijumpai di daerah tertentu, kini surabi sudah jadi milik masyarakat luas bahkan mayoritas warga kota.

Di kampung saya saja, sudah ada gerai surabi yang punya brand cukup ternama. Tulisan ini murni bukan sponsored post, tapi jujur saya katakan kalau lokasi surabi terdekat ini memang pas untuk warga Cianjur Selatan yang masih jauuuh dari lokasi wisata kuliner maupun tempat makan sekelas kafe yang digandrungi anak muda. Harga surabi masih banyak dibawah 10K terjangkau oleh siapa saja.

Saat saya dan keluarga mampir di kedai surabi ini, sudah ada beberapa anak santri yang juga sedang nongkrong menanti pesanan mereka datang. Wilayah Sukanagara yang dingin dan sering diselimuti kabut memang cocok diisi dengan menyantap surabi yang masih mengepulkan asapnya.

Surabi memang sudah dimodifikasi, namun bagi saya surabi tetap sebagai kue tradisional yang memiliki jati diri dan bagian dari tradisi.

14 thoughts on “Mengenang Surabi Menggali Tradisi”

  1. Kalo saya paling suka surabi yg pakai saus santan durian.. Di tempat saya ada yg jual, tapi kalo dak musim durian mereka gak jual yg varian ini.. Kini surabi sdh banyak variasinya ya Mba, sdh dimodif dgn berbagai bahan dan menghasilkan citarasa yg baru..

    Reply
  2. ah Surabi…jadi kepengen makan surabi, sudah lama sekali rasanya, dan bener mba, makan surabi itu sensaninya beda, seperti ditarik ke masa kanak2 ke masa bersama orang tua, ke masa saat puasa. pokoknya penuh kenangan ya..

    Reply
  3. Aduh, ngomongin surabi gini, aku jadi kangen jaman ngekos di daerah Cipete JakSel. Ada surabi yang enaaaaaaakkkkk banget trus bukanya malam doang. Kalo beli pake ngantre tapi tetap happy soalnya enakkkk rasanya.

    Reply
  4. Lokasi makan surabinya kyknya nyaman. Teh, kinca itu apaan ya?
    Ooo jd dulu surabi itu asin/ gurih ya rasanya? Kirain surabi sejak awal tu ya manis dengan coklat, keju, dll gtu hehe

    Reply
  5. Kalau mudik ke Kuningan, deket rumah ada pedagang kue surabi dan ini selalu antri. Tapi disana makan surabinya pakai gorengan teh, seperti tempe, tahu dan teman2nya. Nah, kalau aku dari dulu lebih suka makan surabi yg manis.

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics