Cerita Mudik dan Sensasinya

Cerita Mudik dan Sensasinya

“Alhamdulillah Teh, kami sudah punya tiket kereta api untuk mudik sampai Malang, tadi subuh.” Kata Mbak Lisa, tetangga di belakang rumah.

Akhirnya, ikut lega mereka bisa berlebaran berkumpul bersama keluarga besar di Malang Jawa Timur. Saya ikut bahagia mendengarnya. Secara sebelumnya, saya yang justru ikut gelisah ketika Mbak Lisa sempat mengeluhkan kemungkinan lebaran tahun ini tidak bisa mudik ke Malang.

Harga tiket pesawat yang katanya naik sungguh di luar prediksi tabungan mereka. Tapi Mbak Lisa dan suaminya, mereka tidak mengeluhkan soal harga tiket, karena kalau ada uang, mereka memang tidak pernah rewel. Hanya mungkin untuk tahun ini beberapa bulan sebelumnya (tahun baru kalau tidak salah) mereka sudah kembali ke Malang karena ada urusan keluarga. Jadi tabungan tersedot ke sana. Pas musim mudik kali ini kebetulan harga tiket jauh di harga saat itu. Itu yang bikin mereka berada di posisi di luar yang diprediksi.

Meski kepepet mereka tetap semangat hunting tiket kereta api, sebagai ganti tiket pesawat. Sempat berkali-kali gagal, sampai saya ikut merasa mules karena merasakan bagaimana perasaan mereka jika tidak bisa berlebaran di kampung halaman. Tapi akhirnya mereka itu tadi bilang sudah mendapatkan tiket kereta dari Bandung. Ikut senang dan tenang jadinya.

Keluarga Mbak Lisa sudah hampir 5 tahun tinggal di Cianjur. Suaminya bekerja di perusahaan semen nasional sebagai distributor ke daerah Cianjur bagian selatan. Kami menjadi kenal lebih dekat pas merenovasi rumah dan membeli semen agak banyak. Suami Mbak Lisa ini banyak membantu. Kebetulan saat itu saya mengontrak rumah –sementara rumah direnovasi– di samping rumah yang ditempati Mbak Lisa.

“Teteh jadi kapan mudiknya?” Mbak Lisa selanjutnya bertanya.

Saya tersenyum sendiri. “Mudik kami ini bagai mau ke pasar, Mbak. Setengah jam juga sampai.” Kami tertawa bersama.

Saat ramai mikirin mudik dan mempersiapkan semuanya, saya dan keluarga tidak pernah sesibuk seperti mereka. Secara keluarga besar saya dan keluarga besar suami, bisa dibilang semua ada di satu daerah. Masih berada di satu kabupaten Cianjur. Jadi kalau pun kami kembali ke rumah orang tua, seperti mau ke pasar saja, secara jarak antara rumah yang dikunjungi hanya beda kecamatan.

Pernah ada teman yang berseloroh, kondisi ini adalah balasan selama belasan tahun tidak pernah mudik karena kerja dan terikat kontrak di negara orang, kini setelah pulang kampung mudiknya malah jadi bisa kapan saja. Kedekatan, malah. Hehehe, bisa saja.

Saya sih merasa biasa saja. Mudik tidak mudik, bagi saya dan keluarga yang penting silaturahminya. Dan di jaman serba canggih seperti sekarang ini, mudik tidak mudik, komunikasi mau dengan siapa dan dimana pun sudah semakin mudah dan jelas.

Tidak hanya sekadar kirim surat, telepon atau SMS seperti saat jaman saya merantau, sekarang malah sudah terbiasa juga komunikasi dengan video call dan live.

Dengan komunikasi yang intens itu paling tidak bisa meminimalisir kesalah pahaman. Tidak bertatap muka langsung jika memiliki kendala dengan komunikasi bisa dicarikan jalan tengahnya.

Tapi kalau ada kesempatan ya sebaiknya mau dekat atau jauh, tetap bisa saling berkunjung khususnya dari pihak anak ke pihak orang tua. Selain memang sudah jadi tradisi, juga ada baiknya kita memanfaatkan kesempatan selagi orang tua, saudara atau kerabat masih ada.

Karena kalau sudah tiada, mudik hanya untuk menyambangi batu nisan, rasanya pasti beda.

1 thought on “Cerita Mudik dan Sensasinya”

Leave a Reply to Lombok Wander Cancel reply

Verified by ExactMetrics