Seberapa Penting Nama bagi Korban Human Trafficking
Mungkin tidak banyak yang tahu jika saya ini korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) alias human trafficking. Selama bekerja di luar negeri, beberapa paspor yang saya pegang selalu saja berganti-ganti datanya. Mulai jadi orang Brebes, Jawa Tengah; Batam, dan Babadan Ponorogo, Jawa Timur. Semua harus saya hafal diluar kepala, takut kejebak atau keseleo lidah di depan polisi atau petugas imigrasi.
Begitu juga dengan nama. Setiap ganti negara penempatan, selalu nama baru yang saya dapat. Saat itu bagi saya sendiri saya jadi punya ciri, kalau ada yang manggil saya si A, oh itu berarti orang yang pernah bareng atau kenal ketika di Singapura. Kalau ada yang panggil saya dengan nama B, pasti teman sewaktu di penampungan Rajasa, atau teman bekerja dan berlibur di Hong Kong. Pun ketika ada yang menyebut saya dengan nama C, sudah bisa ditebak itu orang mengenal saya jaman sudah kerja di Taiwan.
Apalah artinya sebuah nama, tapi memang begitu penting buat saya. Secara pulang dari merantau, ketika saya pulang kampung dan menetap bersama orang tua, beberapa teman lama banyak yang ingin berkunjung untuk silaturahmi. Biasakan kalau udah ketemu sobat, lalu pisahan, suka janjian eh, nanti setelah pulang Indo, main ke rumahku ya, gitu kira-kira.
Lokasi kampung yang masih asri dikelilingi kebun teh, udaranya yang masih sejuk dan segar (bahkan kalau malam bikin kedinginan sampai menggigil), kabut yang selalu menutupi jarak kandang plus banyak lokasi wisata air terjun dekat desa bikin teman-teman beneran pada datang “mencari” saya ke kampung.
Masalah baru muncul ketika sudah sampai di desa, mereka teman waktu di Singapura bertanya ke Tukang Ojek, dimana rumah A (saya). Tukang ojek ga ada yang tahu. Jelas karena di kampung nama saya bukan A. Penduduk tidak akan mengenal siapa itu A. Hanya yang mengenal saya di Singapura akan siapa itu A.
Teman-teman waktu bekerja di HK, juga datang dan langsung menuju kantor desa, karena mereka bawa kendaraan sendiri. Mau sekaligus titip mobil. Mereka ditanya mau kemana, dijawab mau ketemu B. Yang tidak lain adalah saya. Tentu saja aparat desa tidak ada yg tahu akan nama B alias nama saya ini karena sama, di kampung orang mengenal nama saya bukan B.
Begitu juga ketika teman-teman barengan saya saat kerja di Taiwan tahu akun media sosial saya mereka bertanya “Kok medsos kamu gak pakai nama C?” Ya, mereka tidak tahu kalau nama C itu nama yang dipakai saya di atas paspor saya. Sementara nama kampung saya jelas beda dengan nama C, nama yang mereka ketahui.
Ada yang ketawa, ada yang bertanya-tanya sambil geleng-geleng kepala, ada yang cuma melongo saja Ooh… ketika peristiwa itu sering terjadi.
Karena kerap terjadi perselisihan terkait nama itulah saya memakai nama saya untuk nama domain blog yang saat itu akan saya TLD-kan. Jelas semua keheranan lagi. Tehokti itu apa? Tehokti teh naon? Tehokti teh saha? Semua merasa asing karena kebetulan blog pertama saya di Multiply menggunakan akun hidupuntukberkarya.
Semakin lama akhirnya orang semakin sering membaca dan mengetahui nama saya. Nama A nama B dan nama C masih dipakai, tapi khusus oleh mereka yang tahu saja. Hanya karena sudah tahu, mereka pun tidak lagi panggil saya A, B dan ataupun C, melainkan Teh atau Teteh saja.
Jadi kenapa saya memilih nama blog yang sekarang digunakan? Karena biar orang tahu saya siapa, sesimpel itu saja hahaha…
Wah, saya baru tau kalo dirimu adalah salah satu korban human trafficking. Melihat karya2 Teh Okti, saya menaruh hormat dan kagum dengan dedikasimu dalam bernagi informasi, Teh!
Keep going, ya! Salam syg untuk si kecil Fahmi.
Wah. This is mind blowing. Aku termasuk salah satu dari mereka yang cuma bisa melongo mba. “Lho, ada beneran ya yg kayak gitu.” Untunglah nggak kenapa2 ya mba.
Ya ampun.. aku ngga nyangka deh mba dirimu adalah salah satu korban Human tracking. Sekarang korban human tracking ini sudah menjelma menjadi sosok yg menginspirasi lewat karya tulisan2 nya.
Semangat Mba