Mungkin bagi sebagian orang, memiliki titel sarjana bisa jadi sebuah pencapaian tertinggi dan jadi tolak ukur sebuah keberhasilan dalam hidup. Tapi ternyata tidak semua orang berpandangan seperti itu. Karena ada segelintir orang yang justru merasa menyesal menyekolahkan anak hingga mendapatkan gelar sarjana dari luar negeri, ketika pendidikan si anak tidak disertai pendidikan karakter birrul walidain.
Birrul Wallidain
Birrul walidain adalah bagian dari etika seorang Muslim untuk berbakti kepada kedua orang tua.
Sebab dalam pemahaman ini diakui jika ridho Tuhan adalah ridho orang tua dan murka Tuhan adalah murka orang tua.
Dalam Islam, Tuhan meletakkan hak orang tua (untuk dibaktikan) setelah Hak Allah (untuk diibadahi) sebagaimana tercantum dalam ayat Al-Qur’an surah An-Nisa: 36 dan Al-Isra: 23.
Bisa diartikan, birrul walidain adalah perbuatan baik seorang anak terhadap kedua orang tuanya sebagai bentuk baktinya sehingga kedua orang tua mendapatkan kebahagiaan.
Perilaku hormat dan taat kepada orang tua bisa dilakukan dengan banyak hal seperti : membantu meringankan pekerjaan orang tua, berdo’a, belajar dengan rajin agar menjadi anak yang berprestasi, menjaga etika sopan santu baik ucapan maupun perbuatan dan kebaikan lainnya.
Kebalikan dari kebaikan kepada orang tua adalah durhaka atau istilahnya uququl. Secara sederhana, yang dimaksud dengan uququl walidain merujuk pada perilaku durhaka atau tidak baik seorang anak terhadap orang tua.
Berkaca Pada Catatan Adian Husaini
Kembali ke cerita awal mengenai seorang yang merasa gagal menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi tanpa dibekali pendidikan karakter ialah berawal ketika saya yang suka membaca biografi tokoh berprestasi dan menginspirasi tidak sengaja mampir di sebuah catatan seorang Dr. Adian Husaini.
Adian Husaini ini tokoh pendidikan yang cukup terkenal di Indonesia. Beliau seorang intelektual muslim yang hingga saat ini masih aktif berkiprah di dunia keilmuan Islam.
Adian Husaini lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, pada tanggal 17 Desember tahun 1965. Pendidikan formal yang diambilnya dimulai dari SD Banjarejo 1, kemudian SMPN 1 Padangan Bojonegoro dan SMAN 1 Bojonegoro.
Untuk pendidikan agama, sebagaimana saya kutip informasinya dari Wikipedia, beliau belajar di Langgar Al-Muhsin Desa Kuncen Padangan Bojonegoro dan sejumlah Pesantren, seperti Madrasah Diniyah Nurul Ilmi (1971-1977), Pondok Pesantren Ar-Rasyid Kendal (1981-1984), Pondok Pesantren Ulil Albab Bogor (1988-1989) serta di LIPIA Jakarta (1988).
Saat saya stalking catatannya, beliau ada bercerita jika pendidikan tinggi tidak ada artinya tanpa dibekali pendidikan karakter seperti akhlak dan budi pekerti.
Penyesalan Ilmuwan
Diceritankanya jika di dunia maya tengah beredar video berjudul: “Penyesalan Seorang Doktor Universitas Ternama”. Yang isinya berkisah tentang penyesalan seorang doktor yang ketiga anaknya berhasil kuliah di luar negeri.
Doktor tersebut bahkan sudah menulis buku panduan tentang kiat menyekolahkan anaknya di luar negeri. Ia membeberkan rahasia dan tips bagaimana cara sehingga ketiga anaknya berhasil lolos di perguruan tinggi setingkat internasional.
Melalui buku yang diterbitkan doktor itu, banyak orang mengikuti jejaknya, dan sukses. Putra putri kebanggaan keluarga banyak yang lolos diterima di perguruan tinggi di luar negeri.
Tapi, belakangan, doktor itu menarik bukunya dari peredaran dan meminta maaf kepada orang-orang yang telah mengikuti jejaknya. Apa pasal?
Konon, kisahnya bermula saat istri doktor tersebut sakit keras. Anak pertama, yang sudah mapan bekerja di USA, diteleponnya. Tapi, sang anak tidak bisa pulang. Katanya, banyak meeting yang tidak bisa ditinggalkan. Si anak lebih mementingkan pekerjaan daripada ibu kandungnya.
Anak kedua, sedang ujian, sehingga tidak bisa kembali ke Indonesia untuk menjenguk ibunya. Demikian ia pun lebih memilih urusan dunia, daripada bakti kepada orang tuanya.
Dan anak ketiga, yang baru saja diterima bekerja di sebuah perusahaan IT ternama di luar negeri juga sama tidak bisa pulang saat ibunya sakit. Katanya, sebagai karyawan baru, ia tidak bisa meninggalkan pekerjaan dengan alasan keluarga.
Akhirnya, sang ibu meninggal dunia, tanpa lebih dahulu bertemu ditengok oleh ketiga anaknya.
“Tak satu pun anak saya hadir di pemakaman ibunya. Saya sangat sedih dan terpukul. Saya tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Karena itu akibat dari saya; (itulah) yang saya ajarkan pada anak-anak. Sayalah sekarang yang menanggung akibatnya,” kata sang doktor penuh dengan rasa sedih dan penyesalan.
Belakangan, sang doktor mendalami ilmu agama. Ia belajar ajaran-ajaran Nabi. Di antaranya belajar tentang cara mendidik anak dan lain-lain. Setelah paham agama, sang doktor merasa selama ini telah salah mendidik anak.
“Saya merasa sudah menjerumuskan anak-anak dengan menyekolahkan anak saya ke luar negeri, tapi tidak dibarengi dengan pendidikan karakter berupa akhlak. Anak-anak jadi jauh dari agama. Jauh dari pemahaman konsep hidup yang benar, sesuai dengan tuntunan Rasulullah,” kata sang doktor.
Pendidikan Karakter Fondasi Sukses Dunia Akhirat
Dari kisah yang diambil dari catatan Adian Husaini tersebut di atas kita semua dapat mengambil hikmah dan pelajaran, khususnya bagi para orang tua, maupun calon orang tua, jangan sampai kita begitu bangga dan hanya memperhatikan kesuksesan dunia anak-anak kita, namun disisi lain kita biasa bahkan lalai terhadap pendidikan karakter berupa bekal agama untuk kesuksesan akhirat anak-anak kita.
Karena memiliki anak yang saleh salihah adalah harta dan investasi terbaik dan yang paling bermanfaat bagi orang tua di dunia dan akhirat kelak, dibanding memiliki anak yang pandai dan sukses karier dunianya namun ia bodoh dan lalai dalam urusan akhiratnya.
Birrul Wallidain dalam Permendikbud
Pendidikan karakter birrul wallidain secara gamblang sudah tercantum dalam Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018 pada nilai karakter pertama yaitu Religiositas.
Nilai-Nilai Utama Pendidikan Karakter
- Religiositas
- Nasionalisme
- Kemandirian
- Gotong Royong
- Integritas
Birrul Wallidain Bagian Nilai Utama Pendidikan Karakter
Itulah lima nilai utama karakter yang ditekankan berdasarkan Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018. Kelima nilai utama karakter bangsa beserta banyak subnilainya itu tidaklah berdiri sendiri tapi saling berkaitan.
Seperti nilai religiositas, nilai yang mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran agama dan kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama, menjunjung tinggi sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain, serta hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain.
Melalui nilai pendidikan karakter religius ini, sejak dini anak sudah dibiasakan dan jadi terbiasa dengan nilai keimanan dan bertaqwa, cinta damai, toleran, menghargai perbedaan, teguh pendirian, percaya diri, mau bekerja sama, kasih sayang, bersahabat, tulus, menghargai pendapat orang lain, mencintai lingkungan, hidup bersih, sehat, dan melindungi yang kecil dan tersisih. Salah satunya ilmu birru walidain.
Jadi saat seorang ilmuwan merasa gagal dan menyesal menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi di luar negeri, yang salah bukan sekolah atau perguruan tingginya, melainkan memang pendidikan karakternya yang kurang dikuatkan kepada anak.
Jika orang tua sudah lengkap memberikan ilmu birrul wallidain-nya ke anak, banyak kok orang tua yang sukses dan sehat gak merasa terbebani dengan pendidikan maupun kesuksesan anak.
Karena ilmu birrul wallidain ini sebenarnya bagian dari pendidikan karakter yang menjadi fondasi bahagianya anak-anak. Jadi saat anak-anak melanglang buana mengitari berbagai belahan bumi, mereka akan merasa feeling homy dimanapun bumi dipijak.
Apalagi saat mendengar orang tua sakit atau meninggal dunia, akan ada seribu cara untuk mereka supaya bisa segera pulang menjenguk.
Pesan untuk Orang Tua
Mengajarkan ilmu kepada anak itu jangan karena kita ingin diterima kasihi oleh anak-anak, tapi justru kita membantu anak menikmati surga dunia dan surga akhirat melalui media bakti kepada kita orangtuanya, karena sekali lagi pendidikan karakter birrul wallidain itu fondasi hidup bahagia seorang manusia.
Jadi orang tua itu ilmunya memang tidak berbatas ya, manteman. Tidak ada ruginya kita terus perdalam pemahaman akan dunia pendidikan karakter ini. Jika manteman penasaran, bisa baca juga artikel Pendidikan Karakter mengenai Keteladanan Pendidikan Karakter dari Rasulullah. Semoga bermanfaat ya….
Saya juga banyak mengamati Mbak. Banyak orang yang berpendidikan tinggi dengan titel sederet, tapi soal akhlak kurang. Karena banyak yang merasa lebih tinggi dari orang lain. Jadi sombong dan merendahkan. Sopan santun juga jadi kurang. Jadi memang sejak kecil pendidikan karakter harus ditanamkan dan diajarkan. Karena ini modal utama menjalani kehidupan selanjutnya juga. Dan ini harus dari keluarga dulu.
Sebenarnya contohnya udah bisa dilihat di realita sih mbak soal pendidikan karakter ini. Sekarang, orang korupsi sekolahnya tinggi, tapi mereka tidak ditumbuhkan dengan karakter yang baik
Betul. Banyak yang punya titel dan jabatan tinggi tapi sombong dan suka merendahkan orang lain. Jadi percuma saja gelarnya.
Yaa Allah pentingnya pendidikan yang dibarengi dengan akhlak ya Teh. Sampai nggak bisa pulang saat ibunya sakit, hidup jadi nggak bisa seimbang karena lebih mementingkan duniawi. Ini jadi pelajaran banget bagi orang tua untuk mendidik anaknya agar menyeimbangkan urusan dunia dan akhirat.
Adab dulu baru ilmu. Nasehat tersebut selalu terngiang di telinga saya. Adab ini tentunya tak lain dan tak bukan adalah karakter itu sendiri. Ya, setuju banget, apa gunanya punya titel sarjana tetapi tidak beradab.
Pendidikan karakter ini memang diperlukab, selain pendidikan formal. Apalagi dalam urusannya adab kepada orangtua, karena ini bekalnya seumur hidup
Sepakat banget teh, titel sarjana jadi percuma kalau adab, karakter orang tersebut buruk. Apalagi kan kalau di masyarakat orang yang titelnya sarjana diharapkan bisa menjadi contoh baik
Percuma ya kalo punya titel tapi karakternya jauh di bawah standar. Oleh karena itu pendidikan karakter pada usia dini ini, wajib kita ajarkan kepada anak-anak kita.
Pendidikan tinggi memang tidak menjamn seseorang memiliki karakter yang baik. Seringkali malah sebaliknya yang terjadi.
Ilmu tinggi hingga gelar sepanjang rel kereta api pun ga menjamim org pny bud pekerti sih. Emg pendidikan karakter itu sejak dini sangat penting.
Bahkan di Jepang, saat masuk SD pun masih dijejali pendidikan karakter. Makanya adap mereka pun bgs baik terhadap org lain.
Kita jg pny konsep itu tp makin luntur ditelan bocil epep. Hehe. Main boleh asal budi pekertinya jg bgs ya.
Honestly aku sendiri perhatiin beberapa orang dekat aku yang lebih mengutamakan birrul wallidain tu lebih sukses dari yang ga terlalu peduli ma ortu, bener ya klo ridho orang tua tu penting banget buat kita
Pendidikan karakter birrul walidain adalah investasi terbaik bagi anak, bukan hanya untuk kebahagiaan dunia, tetapi juga untuk meraih kebahagiaan abadi di akhirat
Ahh kak aku juga ngefans banget sama Dr. Adian Husaini, belio jugaa bikin sekolah kan yaa? Sayangnya jauh dari akuu, sempet pengen masukin anakku kesana haha tp kayak ngga tega karena jauhnyaa
Sepakat banget nih. Jadi, anak harus dapet bekal pendidikan yg sepaket, supaya dapet pinternya dapet juga terbentuk akhlak mulianya sejak dini.
Kalau sudah memperdalam pentingnya pendidikan karakter mungkin bisa lebih jelas melihat fenomena ini ya mbak..
Sekarang banyak yang gelarnya berderet bahkan punya jabatan mentereng, tapi nol karakter ya gak berharga di mata masyarakat
Terlebih sekarang masyarakat sudah penting karakter dibandingkan gelar sarjana
Benarlah kalau adab dulu baru ilmu, bukan dibalik ya, Teh. Kacau balau hidup jadinya kalau yang didahulukan adalah titel yang berderet namun adab ditinggalkan kemudian dianggap kuno dan lain sebagainya. Serem.
kadangkala kepikiran juga sih.. “Apakah saya dan pasangan sudah memberikan pendidikan karakter birrul wallidain ini kepada anak?”
Karena seringkali sudut pandang kita dan sudut pandang anak jadi berbeda dan inilah awal dari kekecewaan demi kekecewaan.
Semoga anak-anak tetap sayang sama orangtua ketika kami sudah renta dan mendoakan ketika kami sudah tiada.
Ini juga mungkin juga ya yang terjadi dengan masyarakat kita. Berpendidikan tapi korupsi. Berpendidikan, tapi mau masuk PNS atau kerja aja nyogok. Karena pendidikan umumnya tidak dibarengi pendidikan karakter.
Gimana bisa kita fokus pada pendidikan formal tanpa memikirkan pendidikan karakter? Seperti yang diceritakan, keberhasilan akademis aja gak cukup kalau gak dibarengi dengan akhlak yang baik. Bener banget, anak-anak yang diajarkan birrul walidain pasti bakal lebih peduli dan menghormati orang tua mereka. Ini juga jadi pengingat buat kita semua sebagai orang tua, jangan cuma mikirin nilai-nilai di sekolah, tapi juga nilai-nilai dalam hidup. Thank you for sharing this insightful piece!