Tradisi Unik Ramadan Papajar di Rumah Abah Jajang

Tiba-tiba terdengar cekikikan anak-anak perempuan di belakang padahal saat itu semua sedang ma’mum solat witir.

Mungkin karena ada beberapa orang kurang fokus, jadi ketika imam membaca doa qunut di rakaat terakhir setelah ruku’, mereka kira langsung ke gerakan sujud. Alhasil karena kekeliruan itu gerakan solat berjamaah jadi agak kacau. Ada yang tetap berdiri ada yang langsung mau sujud tapi tidak jadi, jadi bangkit berdiri lagi. Karena itulah mungkin anak-anak itu cekikikan. Menertawakan sedikit kesemrawutan.

Tradisi di daerah kami, di momen separuh akhir Ramadan bagi pengikut madzhab Syafi’i memang ditandai dengan adanya imam membaca doa qunut pada saat rakat ketiga salat witir. Membaca doa qunut pada salat witir ini adalah sunnah.

Meski banyak perbedaan karena menganut madzhab yang berbeda namun itulah tanda indahnya Islam yang mengedepankan persatuan. Tidak usah diperdebatkan.

Seperti kita tahu di beberapa daerah di nusantara ini kita bisa menemukan beberapa tradisi unik dan satu sama lain berbeda untuk menandai separuh akhir Ramadan.

Selain pembacaan doa qunut tadi ada juga yang menandai dengan mengganti bacaan surah pada rakat pertama tarawih setelah bacaan surah Al Fatihah, imam kemudian membaca surah Al Qadr. Begitupun pada saat rakat kedua setelah bacaan surah Al Fatihah, imam membaca surah At Takasur.

Ada juga yang tepat pada malam ke enam belas, pengurus masjid setelah lepas witir mengadakan makan bersama dengan menu ketupat opor ayam atau lainnya.

Di masjid Agung Cianjur saya pernah tarawih di sana, makan bersamanya dengan hidangan nasi liwet. Sederhana tapi begitu semarak. Yang masak nasi liwet para pengurus dan penjaga masjid.

Memang beruntung ya sebenarnya kita menjadi warga negara Indonesia. Di negara kita ini memang sangat banyak ditemukan keunikan.

Termasuk keunikan dalam merayakan menyambut Ramadan maupun merayakan ketika Ramadan akan pergi.

Tradisi nyadran, munggahan, dan lain-lainnya bisa kita saksikan jika akan memasuki Ramadan. Di Cianjur tradisi Munggahan disebutnya papajar. Istilah boleh beda tapi ternyata tradisi ini punya kesamaan makna, dimana intinya adalah ngumpul-ngumpul makan bersama didahului dengan membacakan doa untuk arwah dan leluhur ditambah dengan nyekar ke makam keluarga.

Tradisi Unik Ramadan di Rumah Abah Jajang
Papajar, tradisi menyambut Ramadan dengan cara kumpulan lalu makan bersama

Di tempat saya tinggal dan sekitarnya, seolah kompak untuk papajar awal Ramadan kemarin itu kok banyak masyarakat yang menjadikan Rumah Abah Jajang (yang viral setelah diberitakan sebagai rumah surga di pedesaan dengan pemandangan air terjun di depannya namun sang pemilik yang seorang kakek bernama Jajang menolak untuk menjualnya padahal ditawari harga sekitar Rp2,5 miliar) sebagai lokasi tujuan papajar.

Saking membludaknya tamu yang mau papajar ke sana, harus bergantian dan sebagian yang jauh harus reservasi dulu. Gaya betul ya, hehe…

Namun begitulah masyarakat kita. Merasa senang dan bangga kalau tak tertinggal dari hal yang kekinian. Mungkin ada kepuasan tersendiri ketika bisa upload foto sedang papajar di lokasi rumah Abah Jajang. Bisa jadi ke depannya papajar di Pasirkuda Cianjur Selatan ini jadi sebuah sebuah tradisi juga.

Tradisi Unik Ramadan di Rumah Abah Jajang
Baru kekinian kalau sudah punya foto di rumah Abah Jajang

Tapi tidak bagi murid-muridnya suami tahun ini dimana yang di pegang adalah kelas 9C. Mereka berinisiatif papajar ngajak wali kelas, justru bukan di rumah Abah Jajang melainkan rumah kami.

Mungkin karena mereka lahir, tumbuh, besar dan sekolah di sekitar wilayah Curug Citambur jadi suasana rumah Abah Jajang tak begitu spesial lagi. Wong sehari-harinya disana disana juga.

Lucunya sebelum makan bareng ketika papajar di rumah kami, si ketua kelas inisiatif bikin vlog dengan voice over:

Papajar di rumah Abah Jajang ❎

Papajar di rumah wali kelas ☑️

(Baca: papajar di rumah Abah Jajang no, papajar di rumah wali kelas well)

Tradisi Unik Ramadan Papajar ke Rumah Abah Jajang
Rumah Abah Jajang yang sempat viral masuk pemberitaan

Jadilah ketika masuk sekolah saat bulan Ramadan, anak kelas 9C dan suami yang ngajar di sekolah menengah di dekat Curug Citambur itu jadi bahan bulian dan candaan diantara para guru, kalau katanya kelas 9C anak Pak Iwan is well, haha … Ada ada saja.

Sayangnya tradisi buka puasa bersama yang juga diinginkan murid kelas suami batal diadakan dikarenakan kondisi cuaca yang selalu tidak kondusif. Hujan selalu turun dengan derasnya. Cukup repot jika dipaksakan karena rumah setiap murid satu sama lain saling berjauhan dan tidak setiap anak punya kendaraan bermotor.

Tradisi Unik Ramadan di Rumah Abah Jajang
Anak kelas 9C mengaku bosan dengan lingkungan rumah Abah Jajang, mereka Papajar justru memilih di rumah wali kelasnya

Kami yang tinggal di kampung, pada jelang sepuluh malam terakhir Ramadan ini juga mulai menjumpai wajah-wajah baru yang mana mereka adalah sanak saudara warga setempat yang merantau dan baru datang mudik.

Khususnya di masjid suasananya semakin ramai karena sekaligus menghidupkan qiyamul lail. Begitu juga dengan ibadah i’tikaf yang juga ramai dihadiri oleh berbagai warga wajah baru stok lama, mereka yang baru pulang dari beberapa daerah di ibukota.

Beberapa tradisi menyambut dan berpisah dengan bulan Ramadan ini menambah syahdu bulan Ramadan yang mungkin tidak akan kita temukan di negara-negara lain.

Sesungguhnya masyarakat seluruh Nusantara ini perlu merawat tradisi ini sebagai sebuah kekayaan. Selain merawat tradisi, ini juga merupakan bagian daripada moderasi beragama dimana kita perlu akomodatif dengan budaya lokal.

Tradisi Unik Ramadan di Rumah Abah Jajang
Kedepannya bisa jadi Papajar ke sini jadi sebuah tradisi Ramadan

Budaya-budaya lokal yang berbeda satu sama lain ini jangan  dianggap sebagai sebuah ancaman, akan tetapi anggaplah sebagai bagian untuk memperkaya ritual keagamaan.

Hal yang perlu kita tangkap adalah substansinya, karena di dalamnya ada nilai-nilai kebersamaan, silaturahim dan sosial.

Kita berharap Ramadan kali ini tidak berlalu begitu saja, harus ada perbaikan amal dari tahun-tahun sebelumnya. Semoga generasi muda bisa melestarikan tradisi-tradisi lokal ini sehingga menjadi bahan cerita yang seru untuk anak cucu kelak.

29 thoughts on “Tradisi Unik Ramadan Papajar di Rumah Abah Jajang”

  1. Wah baru tahu ada tradisi namanya PAPAJAR di Jawa Barat. Selama ini, mengikuti suami yang memang berasal dari suku ini, saya hanya kenal MUNGGAHAN. Ternyata konsep dan tujuannya sama ya Teh. Makan dan doa bersama dalam rangka menyambut ramadan. Setidaknya munggahan menjadi salah satu alasan untuk kumpul bersama, silaturahim, dengan keluarga besar.

    BTW, saya juga penasaran sama rumah Abah Jajang ini. Suka deh dengan suasana dan nuansa yang tercipta. Apalagi lingkungannya terlihat asri dengan kehadiran air terjun itu. Asik kali ya Teh berlama-lama di sana.

    Reply
  2. Viewnya baguuus bgt ya. Ini rumah yang dulu sempet viral itu bukan sih? Yang viewnya bukit dan langsung air terjun. Sempet rame banget juga yg dateng tapi malah ujung2 ngerusak rumput di sekitar rumah. Viewnya mirip sama rumah ini soalnya.

    Reply
  3. Waaa….cantiknyaa rumah abah Jajang
    dan hihihi saking viralnya pada munggahan/papajar di sana

    tapi kalo disuruh milih, saya akan milih papajar dengan guru (wali kelas)
    Karena yang viral akan terhapus dengan datangnya kisah viral yang baru
    Sedangkan papajar bersama wali kelas akan tersimpan dalam hati
    yang tak mudah dihapus/dilupakan

    Reply
  4. wah pemandangannya asri banget ya teh, ini tuh yg rumah abah yg viral dulu itu kan ya? terus unik and seru emang tradisinya ya, jadi pengalaman baru di bulan puasa ini

    Reply
  5. Selagi mash sejalan dengan syariat, hal-hal yang berkenaan dengan kebudayaan sih gak ada salahnya dilestarikan. Apalagi jika itu juga bertujuan untuk mempererat silaturahmi hubungan antarsesama.

    Sebab, jaman sekarang interaksi intim secara langsung itu mahal sekali, gara-gara banyak orang yang sudah nyaman berinteraksi melalui dunia maya.

    Reply
  6. Wah meskipun tradisinya mirip-mirip dengan munggahan, namun namanya saja yang berbeda ya: “Papajar”. Saya melihat perbedaan dalam bertradisi ini bukan sesuatu yang buruk, apalagi memecah-belah. Justru, saya melihatnya sebagai “kekayaan”. Baik kekayaan beragama, maupun kekayaan budaya.

    Reply
  7. Saya orang Sunda juga, tapi baru tahu ada istilah papajar. Saya kira munggahan semua di setiap daerahnya. Haha.
    Di Tasikmalaya, sepertinya munggahan semua nyebutnya.

    Reply
  8. Ternyata istilah ritual makan bersama menjelang ramadan itu namanya macem2 ya di tiap daerah. Kalo di Bandung saya familiar dengan sebutan Munggahan. Trus saya baru tahu istilah lainnya yaitu Cucurak kalo di Bogor dan sekarang Papajar kalo di Cianjur. Saya juga baru ngeh kalo rumah abah Jajang yang viral itu ternyata lokasinya dekat dengan tempat tinggalnya teh Okti.

    Reply
  9. rumah abah Jajang bener bener tenang, aku kalau punya rumah dengan view air terjun seperti itu, tiap hari pikiran bakalan fresh
    kalau di daerahku di Jawa timur, biasanya kalau mau lebaran cuman syukuran di masjid deket rumah, itupun sepertinya nggak semua orang berpartisipasi

    Reply
  10. Tradisi ramadhan itu indah banget si menurut saya kak, apalagi kuliah subuhnya dan jalan jalan setelahnya. Minal Aidzin Wal Faidzin ya kakk..

    Reply
  11. Menarik banget ya teh tradisi Papajar memupuk kebersamaan silahturahmi hal.ini perlu loh dilestarikan dari generasi ke generasi, mencerminkan kentalnya budaya lokal dalam kebersamaan

    Reply
  12. Unik juga ya teh, tradisi Papajarnya. Kalau Munggahan sendiri, biasanya di tempatku bareng sama acara bersih makam dan nyekar. Jadi setelah ke makam, biasanya ada tradisi doa bersama di masjid di dekat makam dilanjutkan makan bersama

    Reply
  13. Saya orang Sunda dari Bandung baru tahu istilah papajar. Bahasa daerah kita memang kaya, ya. Indah banget lingkungan sekitar Abah Jajang. Kapan-kapan ingin berkunjung juga.

    Reply
  14. nuansa tradisi seperti itu bikin makin ciamik vibes di bulan Ramadhannya ya Teh.
    Lalu kalau syawalan begini, apakah masih berlanjut juga Teh tradisinya?

    Reply
  15. Ternyata di Indonesia rata-rata sama ya tradisinya.. khususnya karena berbasis budaya NU. Cuma beda nama-namanya saja yang menyesuaikan dengan istilah daerah masing-masing. Cuma di tempatku, acara ruwahan atau papajaran itu sudah makin sedikit orang yang melaksanakannya. hanya orang-orang tua saja, sedangkan orang-orang muda sudah mulai kembali ke pemahaman Rasulullah dan para sahabatnya, yang tidak mencampur-adukkan tradisi ghaib arwah dengan ritual ibadah agama.

    Reply
  16. wah gimana rasanya ya teh punya rumah yang depannya langsung air terjun hihi seger banget itu.
    papajar itu semacam mungguhan ya teh kalo di jawa timur, ramai sekali sangat jarang loh sisiwa yang mau munggahan atau papajar dengan wali kelas…

    Reply

Leave a Comment

Verified by ExactMetrics